Part 3

6 1 0
                                        


Lagi-lagi pagi ini aku terbangun seorang diri padahal ini baru jam setengah 8. Aku bingung sebenarnya Radit berangkat jam berapa sih. Kulihat suasana rumah sangat sepi, mungkin Rani juga sudah berangkat ke Bogor.

Dari pada aku berdiam diri mending aku mencuci baju. Tapi aku bingung, dimana mesin cuci berada?

Jangan bilang aku harus mencuci secara manual. Oh no..

Terpaksa aku harus mencuci dengan tangan. Rasanya tanganku kebas karena terlalu lama mengucek baju. Padahal ini baru sekali mencuci dengan tangan, bagaimana kalau aku harus mencuci setia hari.

Setelah selesai mencuci baju, perutku sudah terasa lapar. Kubuka tudung saji, dan kudapatkan sayur kangkung dan tempe goreng. Ya ampun, makanan rumput lagi. Tapi karena perutku sudah lapar akhitnya aku memakannya.

Sungguh, hidup di desa sangat menyulitkan. "Andien."Suara Radit terdengar. "Udah selesai makan?"

"Udah" aku berdiri ingin mencuci piring tapi ditahan oleh tangan Radit "Kenapa?"

"Temani aku makan ya,"ucapnya. Aku akhirnya kembali duduk dan melihat dia mengambil makanannya.

"Radit, disini gak ada mesin cuci ya?"

"Enggak ada, Ndien. Kenapa?"tanyanya lembut.

"Nih, tanganku merah karena harus menyucek baju."tunjukku pada tangan yang sedikit memerah. Radit melihat tanganku sebentar."Trus gimana?"tanyanya sambil tetap melanjutkan makannya.

"Aku mau beli mesin cuci."mintaku.

Radit masih tak tertanggu dan tetap melanjutkan makannya.

"Dit,"panggilku karena Radit masih belum merespon. "Ya udah sekalian nanti beli TV yang kamu mau."ucapnya akhirnya. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum.

Setelah selesai aku mencuci piring kami berdua. Kulihat Radit duduk di ruang tengah, kuhampiri dirinya."Gak balik ke kebun?"

Radit menolehkan kepalanya menatapku "Enggak, lagi pengin nemenin istri di rumah." Jawabnya sambil tersenyum tidak jelas.

Aku ikut duduk disamping Radit. " Dit, aku bosen."ucapku.

"Kenapa bisa bosen?"tanyanya. "Aku bosen cuma dirumah tidak ada kerjaan, lagian sekarang Rani juga udah kuliah lagi."rajukku.

"Ya udah, nanti malam aku ajak keluar." "Kemana?"

"Nanti juga tahu."katanya dengan senyum mencurigakan.

Malam ini Radit menepati janjinya mengajakku jalan-jalan. Aku hanya mengunakan celana jeans dan kaos putih serta memakai jaket jeans. "Ayo." Radit menggandengku menuju keluar rumah.

"Kita gak naik mobil?"tanyaku saat melihat Radit menghampiri motornya. "Kita pake motor aja, lebih cepat. Nih pakai helm." Radit menyerahkan helm kepadaku. Aku masih menatapnya dengan tatapan ngeri.

"Tapi aku takut naik motor."

Radit yang tengah sibuk memakai helm, menghentikan aktivitasnya dan menatapku. "Aku pelan-pelan kok jadi aman."

Aku memegang bahu Radit saat naik karena motor yang cukup tinggi. Dadaku bergejolak saat bersentuhan dengan bahu Radit. Uh, kenapa aku jadi cupu begini. Batinku..

"Pegangan ya."Aku akhirnya memegang jaket Radit di bagian pinggang. Motor yang kami tumpangi mulai berjalan. Radit mengendarai motornya dengan keceatan sedang. Tidak ada modus untuk mengendarai motor dengan kecepatan tinggi seperti pada cerita roman.

Kami melewati lokasi villa-villa megah milik penjabat maupun pengusaha. Karena lokasi puncak yang dataran tinggi sehingga saat malam seperti ini terlihat gemerlap lampu-lampu rumah penduduk. Sungguh indah pemandangannya. Dipinggir jalan banyak penjual jagung bakar. Suasana saat ini tidak begitu ramai, mungkin karena ini bukan akhir pekan.

Radit kemudian memberhentikan motornya di salah satu warung tenda. "Yuk, Ndien turun. Beli jagung bakar dulu."ajaknya. Aku akhirnya turun dari motor dengan memegang bahunya kembali.

Tanganku kemudian digengam oleh Radit menuju ke warung, aku hanya membiarkannya karena aku juga merasa aman dari tatapan 2 lelaki menatapku dari pertama datang.

"Mau bandrek?"tanya Radit begitu masuk ke warung. Kuanggukan kepalaku.

"Yuk, duduk diluar aja."ajaknya. Di luar warung terdapat tikar yang dihamparkan di rerumputan. Setelah kami menunggu pesanan bandrek dan jagung bakar kami datang. Pemandangan malam ini di puncak sungguh indah. Huh, suasana seperti inilah yang tidak didapatkan di ibukota. "Inilah salah satu alasanku kenapa lebih suka tinggal di puncak." Kutolehkan kepalaku menghadap Radit, dia menatap pemandangan di depannya. "Aku tahu ini berat buat kamu, tapi aku yakin kamu pasti akan menyukai tempat ini."lanjutnya.

"Tapi aku gak biasa hidup yang jauh dari fasilitas umum, gak ada mall, salon, dan tempat lainnya."aku masih belum terima bila harus tinggal disini selamanya.

"Itu kan masalah kebiasaan, kamu sudah terbiasa hidup yang begitu mudah aksesnya. Makanya akan terasa hidup bila tanpa itu. Tapi, kalau kalo mau membuka diri untuk menyatu dengan keadaan aku yakin kamu akan terbiasa tinggal disini."

"Tapi nanti aku jadi cupu." Radit menolehkan wajahnya menatapku dengan dahi berkerut dan mata tajamnya. Memang apa yang salah dengan ucapanku.

"Itulah yang aku bingungkan hingga sekarang. Kenapa orang selalu mendefinisikan orang pedesaan dengan istilah cupu. Orang yang sempit pemikirannya itulah menurutku yang cupu." Ucap Radit tegas. Aku jadi takut berkomentar, apalagi tatapannya masih tajam.

"Aku gak marah sama kamu, jadi gak usah menunduk seperti itu, aku seperti guru yang sedang memarahi muridnya."kekehnya. Aku akhirnya berani mengangkat wajahku.

Kami berdua melanjutkan makan jagung sambil memandangi kota Bandung. Angin yang berhembus membuatku seakan dinina bobokan. Aku menguap. "Ngantuk?" kuanggukan kepalaku.

"Pulang yuk, udah malam juga."ajaknya.

Radit berdiri dan mengulurkan tangan kanannya ke arah ku. Kusambut uluran tangannya untuk membantuku berdiri. Setelah membayar Radit mengandeng tanganku menuju motornya berada. Genggaman tangannya menyalurkan energi panas pada tubuhku yang tadinya terasa dingin oleh angin malam.

Dia mengulurkan helm dan memasangkan di kepalaku. "Yuk, naik."

Angin yang berhembus menambah rasa kantukku. Aku seperti tersadar saat kepalaku terasa melayang tertiup angin. "Ndien, kamu ngantuk banget?"tanya Radit begitu meminggirkan motornya. Dan memutar badannya menolehku.

"Maaf."ucapku dengan suara lirih. "Ya udah kalau kamu ngantuk, pegangan aku aja. Aku bukannya modus tapi ini demi keselamatan kamu biar tidak jatuh."Kuanggukan kepalaku. Kini kupeluk perut Radit lebih erat dan kepalaku kusandarkan di bahunya. Debaran jantungku kian bergejolak. Aku takut jika Radit mendengar debaran jantungku.

Motor mulai berjalandengan kecepatan lebih lambat. Harum lemon yang berasal dari tubuh Raditmenguar hingga hidungku. Wangi yang menyejukkan. Tak terasa mataku kian beratdan kupenjamkan kedua mataku.     

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 16, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Secuil Kisah dari PuncakWhere stories live. Discover now