ANDIEN POV
Sinar matahari menerobos masuk ke kamarku. Kubuka mataku perlahan. Kulihat samping tempat tidurku telah kosong. Sepertinya sudah ditinggalkan pemiliknya lama, karena ranjangnya yang sudah dingin.
Kuambil jam di nakas sudah menunjukkan pukul 9, pantas saja sinar matahari sudah tinggi. Setelah mandi aku keluar dari kamar. Sepi, kemana Radit dan Rani. Setelah berkeliling rumah dan tidak menemukan mereka, akhirnya aku menuju ke ruang tengah dengan membawa beberapa camilan yang aku beli kemarin.
Kulihat acara TV tampak tidak ada yang menarik. Huh, aku bosan. Aku tidak bisa membayangkan apa saja yang akan kulakukan sebagai pengangguran.
Kudengar pintu depan dibuka, tak lama kemudian tampak Rani datang membawa beberapa sayuran dalam kantong plastik.
"Dari mana kamu, Ran?"
"Rani tadi habis ke pasar sekalian jalan-jalan keliling kebun, Teh."Rani menuju dapur dan memulai aktivitasnya. Aku menghampiri Rani yang tengah mengeluarkan sayuran dari kantong plastik.
"Trus Radit mana?"
"Aa' Radit lagi di kebun." Kebun yang dimaksud pasti kebun teh milik keluarganya. "Kamu bisa masak?" Rani tersenyum melihatku. "Ya, sedikit-sedikit bisa, Teh. Latihan jadi istri, hehe." Aku merasa tersindir, pasalnya aku yang merupakan seorang istri sampai saat ini tidak memasak. Sebenarnya sih bisa kalau cuma goreng telur sama masak mie.
Rani masih sibuk mengupas bawang, "mau masak apa?"
"Bikin sayur asem, Teh." Dengan terampil Rani mulai memasak. Rani adalah gambaran perempuan yang manis khas gadis sunda. Aku duduk mengamati kegiatan Rani. "Ran, kamu masih kuliah kan?"
"Iya, Teh. Di Bogor, Besok Rani sudah harus kembali ke Bogor." "Kalau kamu kuliah, brati Radit di rumah sendiri?"
"Iya, Aa' biasanya sendiri. Makanya itu, Teh, Rani senang sekarang Aa' Radit sudah punya istri jadi ada yang mengurusi."ucapnya.
Aku kini kembali ke ruang tengah untuk menonton televisi. Sedangkan, Rani setelah selesai memasak langsung ke kamarnya untuk berkemas buat ke Bogor, katanya. Sungguh bosan rasanya aku hari ini. Ini sudah tengah hari namun, Radit juga belum kembali dari kebun.
Kudengar suara pintu depan, Kutolehkan kepalaku untuk melihat siapa yang masuk, ternyata Radit dengan topi koboynya. Radit menghampiriku dan duduk disampingku. "Sudah makan?" tanyanya dan membuka topinya. Kulihat tetesan keringat mengalir di dahinya. Uh betapa sisi maskulinnya terlihat. Dengan cepat ku gelengkan kepalaku menghaus semua pikiran konyol di otakku. "Ya udah yuk makan sama aku." Hah? Aku menatanya bingung. Oh, sepertinya Radit salah paham terhadap maksud dari gelengan kepalaku. Tapi memang aku juga belum makan.
Saat sudah sampai di meja makan, kulihat Radit menuju dapur untuk mencuci tangannya. "Rani, sudah makan?"tanyanya dengan membelakangiku. "Belum"
"Bisa minta tolong panggilkan?"Aku langsung menuju kamar Rani, kuketuk kamarnya kulihat Rani tengah sibuk memasukkan bajunya ke dalam tas. "Ran, itu diajak makan Radit."ucapku
"Oh, Aa' Radit udah pulang. Oke kak."jawabnya lalu meninggalkan aktivitasnya menuju ke meja makan. Disana kulihat Radit sudah duduk di salah satu kursi makan. Meja makan hanya terdaat 4 kursi, aku bingung disebelah mana karena di dean Radit sudah diisi oleh Rani.
"Sini, Ndien."Radit menyuruhku duduk di sampingnya. Radit kemudian mengulurkan tangannya. Aku bingung dengan maksudnya, namun setelah Radit melirik piringku aku langsung mengulurkan nasiku. "Segini cukup?" tanya Radit setelah mengisi piringku dengan nasi. Aku menggangguk.
"Ciee romantisnya."goda Rani yang melihat perilaku Radit, namun Radit hanya diam tanpa menanggapi. Selanjutnya, Radit mengisi nasi untuk dirinya sendiri.
"Kamu jadi ke Bogor besok?"tanya Radit kepada adiknya.
"Jadi, besok pagi aku sudah berangkat." "Perlu Aa' antar gak?"
"Gak usah Aa', besok Rani bareng temen kok."
"Ya udah, hati-hati. Jaga diri baik-baik."Ucap Radit. Saat ini aku malah melihat Radit seperti ayah bagi Rani bukan kakaknya. "Siap Bos." Rani memeragakan tangannya dengan sikap hormat.
Setelah selesai dengan kegiatan makan, kini aku membantu Rani mencuci piring. Kenapa aku bilang membantu karena aku hanya dapat bagian membilas. Selama di Jakarta aku tidak pernah melakukan kegiatan bersih-bersih rumah karena semuanya dilakukan oleh Mama maupun Mbok Nah.
Kehidupanku jauh dari kata sederhana karena aku yang gila Shopping, suka Hang out ke Club. Namun, walaupun begitu aku tidak pernah melalukan One Night Stand karena aku masih memegang prinsip akan melakukan itu dengan suamiku. Ya, suami yang aku cintai.
Radit kembali ke kebun, katanya masih ada yang harus dikerjakannya. Entah apa. Aku kembali bergelung di kamar, mau tidur tapi tidak ngantuk. Lagian di kamar ini juga tidak ada TV. Kalau mau menonton TV harus ke ruang tengah.
Pukul 5 Radit baru pulang dan langsung mandi. Aku yang duduk bersandar di kepala ranjang saat Radit selesai mandi. Kulihat Radit hanya mengunakan celana pendek selutut dan hanya memakai kaos tipis.
"Dit." Radit yang baru mengeringkan rambutnya dengan handuknya, menoleh padaku. "Aku mau kamar kita dikasih TV, dong." Ucapku.
"Kan diruang tengah sudah ada TV."jawabnya.
"Tapi aku mau dikamar juga dikasih jadi kalo aku males keluar aku bisa menonton di kamar. Lagian kalau malam lebih enak nonton di kamar."
Radit hanya menghembuskan nafasnya. "Ya sudah minggu depan kita beli TV."
"Hm, makasih, Dit."
"Iya."Radit menatapku dengan tersenyum.
Setelah selesai mengeringkan rambut, Radit menaruh handuk ditempatnya dan duduk disebelahku. "lagi chat sama siapa?" tanyanya saat melihatku sedang sibuk dengan ponselku. Huh, salah satu tipe lelaki yang kubenci. Rasa kepo apa yang tinggi dan akan bertindak posesif. "Teman."jawabku langsung kututup aplikasi WA dan kuletakkan ponselku di nakas.
"Andien, ini uang belanja bulanan." Ucapnya sambil menyerahkanku amplop. Kubuka amplop yang berisi beberapa lembar uang berwarna merah. "Kok gak transfer semua aja sih?"
"Disini cari atm sulit, jadi lebih gampang pakaiuang tunai kalau untuk belanja makanan."
![](https://img.wattpad.com/cover/89644682-288-k668511.jpg)
YOU ARE READING
Secuil Kisah dari Puncak
RomanceSaat kita sudah berada di zona nyaman kehidupan, apabila harus meninggalkannya terasa berat. Kita manusia secara naluri ingin hidup sesuai dengan tingkat kenyamanan. Setiap orang dapat menentukan kemana arah kehidupan yang ingin dicapai. Kemana gaya...