02 - Too Cold

557 70 36
                                    

AN.

Dulu pas nulis ff ini yang jadi acuan buat feel dua orang tokohnya itu lagunya Epik High ft. Lee Hi - It's cold. Kalau mau dengerin silahkan biar kira-kira bisa ngerasain gimana rasanya 'kedinginan' kaya Sungjae (dan Sooyoung) lol.

Happy Reading~



***

Seoul, 16 November 2016

Seharusnya semua udara di dunia terasa sama saja. Tak ada bedanya.

Tapi entah kenapa udara dingin Seoul yang menyambut kedatanganku ini terasa berbeda. Setiap tarikan udara yang ku hirup seolah mampu melonggarkan sedikit kesesakan dada ini.

Sedikit demi sedikit beban di dadaku seperti terbang bersama setiap hembusan uap putih yang keluar dari bibir dan hidungku yang memerah.

Malam ini benar-benar dingin. Padahal winter saja masih belum menampakkan dirinya, tapi dinginnya benar-benar menusuk tulangku. Bahkan udara Tokyo di musim dingin saja tak pernah membuatku menggigil.

Sungguh aku tak komplain, kurasa dingin lebih baik untuk kewarasan hati dan jiwaku saat ini. 

Hembusan angin yang membekukan ini seperti memeluk dan membelaiku dengan lembut. Mungkin mereka tahu bagaimana suasana hati ku saat ini, hingga partikel-partikel kecil pembawa oksigen itu menyambut kedatanganku dengan pelukan dingin yang melipur sedikit kesedihan.

Ku eratkan coat-ku pada tubuh yang terus mengurus ini. Baru dua minggu lebih berlalu sejak hari itu dan sekarang beratku sudah menyusut hampir 6 kilo.

Seumur hidupku aku selalu yang paling 'besar' dan tinggi dibanding teman-teman seusiaku. Rasanya aneh melihat tubuhku jadi sekurus ini—walaupun sesungguhnya tubuhku tak pernah gemuk juga, tapi apabila kau terlahir dengan tubuh bagaikan galah sepertiku maka kau akan selalu dianggap 'besar' oleh orang-orang di sekitarmu—bahkan sekarang tulang-tulangku terlihat menonjol di sana sini.

Satu-satunya cara agar tulang-tulang ini tak semakin menonjol adalah dengan makan yang banyak. Tapi bagaimana mau makan kalau nafsu makan saja aku tak punya, padahal beberapa minggu yang lalu aku sangat rindu dengan jajanan pinggir jalan Seoul yang terakhir ku cicipi lebih dari 11 tahun yang lalu ini.

Benar-benar tak beruntung, kini ketika aku berada di Seoul tak sedikitpun rasa lapar ku rasakan.

Seoul, sudah lama sekali aku meninggalkanmu.

Kalau ku ingat-ingat, baru dua bulan lalu aku meminta appa agar kami bisa sekedar berlibur di Seoul, Jeju, atau dimanapun asalkan di Korea.

Tapi ia tak mengijinkan dan akhirnya kami malah berlibur ke tempat lain, padahal aku sangat amat ingin ke Korea.

Lucu sekali, akhirnya aku bisa kembali ke sini, namun hanya aku pergi seorang diri saja tanpa appa dan eomma.

Sesungguhnya aku tak pernah pergi sendiri tanpa eomma dan appa—kecuali tentu saja saat acara darmawisata di sekolah dulu—jadi bisa dibilang saat ini aku benar-benar nekat, apalagi aku tak benar-benar mengenal Seoul.

Namun kalau manusia sudah tertekan dan nekat mereka bisa melakukan apa saja yang mereka kehendaki bukan?

Sesungguhnya aku tak mau menyebut ini sebagai 'kabur dari rumah' tapi dilihat dari sisi manapun saat ini tentu saja aku sedang kabur dari rumah.

Setelah malam itu aku tak bisa kembali menjadi diriku yang dulu, walaupun appa mencoba meyakinkanku bahwa tak ada yang berubah—bahwa aku tetaplah anak satu-satunya—namun tetap saja sekali sebuah kertas diremas ia tak akan kembali mulus seperti dulu.

Wounded Where stories live. Discover now