Bab 4 - Dua Cangkir Kopi Hitam

535 6 2
                                    

"Tok! Tok! Tok! Permisi!"

Rena yang menyadari adanya suara di dekat pintu, langsung beranjak. Ia setengah berlari menuju pintu. Senyum di wajahnya langsung menghilang setelah ia membuka pintu.

"Bu, tadi pak Ervan menitipkan barang ini untuk dibawa ke rumah. Beliau masih ada sedikit urusan di kantor." ujar Doni, tetangga satu kompleksnya yang juga teman sekantor suaminya.

"Iya. Terima kasih, nak Doni." Rena hanya tersenyum sedikit. Dalam hatinya, ia kecewa karena seseorang yang diharapkannya belum juga pulang.

"Saya permisi dulu, bu."

"Iya."

Doni pun pulang ke rumahnya. Rena tergugu. Lalu, ia kembali ke ruang tamu, dan menunggu suaminya lagi di sana.

Malam semakin larut. Gelisah dan kekhawatiran Rena terhadap suaminya semakin menjadi. Sungguh, ia tidak ingin kehilangan orang yang dicintainya untuk kedua kalinya. Jarum jam seakan berjalan begitu lambat. Ia mondar-mandir di ruang tamu. Kini diteleponnya suaminya itu. Sesaat, panggilan menyambung, namun tidak ada jawaban dari seberang. Diteleponnya kembali. Panggilan kembali menyambung, namun tidak ada jawaban lagi. Hal itu terulang-ulang sampai tujuh kali.

"Mas, kau dimana sekarang? Aku merindukanmu," gumamnya.

Ia kembali duduk di kursi tamu. Dua cangkir kopi hitam yang sudah dingin di atas meja itu dipandanginya, mengingatkan pada perkiraan suaminya yang akan tiba di rumah sebelum senja.

"Tok! Tok! Tok!" Terdengar suara pintu diketuk. Namun tidak ada suara seseorang yang mengiringinya. Siapa yang mengetuk pintu itu?

Begitu pintu dibuka, Rena langsung mendapatkan sebuah kebahagiaan yang tidak bisa ia beli dimana pun. Suaminya langsung dicium tangan kanannya, lalu keduanya berpelukan. Sejurus kemudian, sepasang suami istri itu masuk ke dalam rumah. Kerinduan keduanya pun hilang bagai ditelan bumi.

"Maaf sayang, aku terlambat pulang. Mendadak ada urusan yang harus aku selesaikan di kantor penerbitan buku itu."

"Tidak apa-apa, mas. Tadi Doni sudah memberi tahu aku."

"Kau tidak marah?"

"Aku tidak marah. Buat apa aku marah pada suami yang begitu baik dan perhatian pada keluarganya?" Lalu, Rena tersenyum.

Ervan hanya mengangguk, lalu tersenyum.

Raut muka mereka begitu senang. Cesss...! Tatapan mereka bertemu. Seperti tatapan di hari pertama pernikahan. Dua cangkir kopi hitam masih bertahan di atas meja. Kini suami istri itu minum kopi hitam yang sudah dingin. Meski kopi hitam itu sudah dingin, rasa rindu dan cinta mereka akan selalu hangat.

***

Dua Cangkir Kopi HitamWhere stories live. Discover now