Chap 5

10.2K 487 136
                                    

.

"Emily..."

Emily menoleh saat mendengar suara bariton lembut dari arah pintu ruang kerjanya. Ia tersenyum mendapati sosok suaminya sedang berjalan kearahnya dengan nampan di tangannya. Rean meletakkan secangkir Teh putih pada Emily dan dibalas gumaman terima kasih olehnya. Lelaki tinggi itu memilih berdiri disamping kursi Emily. Mengintip kegiatan wanita manis itu tanpa berniat menganggunya.

"Emily sudah berada disini sejak tiga jam yang lalu, ini sudah larut dan emily perlu istirahat." sela Rean layaknya orang dewasa. Anak itu sedikit menguap dan matanya memerah. Namun nampaknya Rean lebih memilih untuk memaksakan dirinya menunggui istrinya bekerja. Emily hanya tersenyum dan kembali berkutat dengan kertasnya setelah menyeruput tehnya satu kali. "Emily~" Rean mulai merengek.

"Tidurlah, Rean. Aku akan segera menyusul."

"Kau bohong!" rajuk yang lebih tinggi. Bibirnya cemberut dan memberikan tatapan sengit pada Emily. "Kemarin Emily juga bilang begitu, tapi nyatanya Emily l tertidur jam 5 pagi." Emily sedikit meringis. Benar memang, akhir−akhir ini ia banyak pikiran. Dan ia pikir mengalihkan masalahnya dengan bekerja akan membuatnya lebih baik. Ternyata yang ada dia justru membuat dirinya semakin mengerikan dengan mata panda dan wajah pucatnya.

"Maaf, Rean."

"Ayo tidur, Emily~ bukankah besok kita akan pindah ke apartemen yang baru?" Yang lebih tinggi menyeret lengan Emily hingga wanita bersweater biru itu berdiri dan menubruk dada Rean. emily sempat tersentak karena kehangatan yang tiba−tiba itu, namun ia segera merubah ekspresinya menjadi biasa. Walau jantungnya mulai bekerja abnormal tanpa ia sadari.

"Baiklah, ayo." Jemari lentiknya segera membereskan dan merapikan berkas−berkasnya diiringi dengan tepukan tangan Rean serta kalimat 'yey' dari si raksasa lucu itu. Emily segera menghabiskan sisa kopinya dan menggaet lengan Rean. Menyeret suami raksasanya ke lantai dua rumahnya dimana kamar tidurnya sudah menanti mereka.

*

"Ayah..."

Nathan terbata saat menyebut kalimat itu. Lidahnya serasa kelu bahkan untuk balas tersenyum pada sang ayah yang berdiri di depan pintu flatnya. Ayahnya datang dengan dua orang bodyguard di belakangnya. Memakai pakaian formal dan menatapnya dengan senyuman berkharisma. Sudah beberapa bulan sejak pertemuan terakhir mereka di pernikahannya yang gagal. Jujur, ia merindukan sosok pria paruh baya itu. Ia juga merasa bersalah karena telah mempermalukan keluarganya. Tapi apa boleh buat, kentang sudah menjadi donat. Ia takkan bisa mengubah semua yang telah terjadi.

"Apakah kau tidak ingin mempersilahkan ayahmu masuk, Jonathan?" Seolah tersadar dari lamunannya, Nathan segera menepikan dirinya dan meminta ayahnya untuk masuk ke dalam flat kecilnya.

"Maaf, rumahku tidak sebagus yang ayah kira." Roger menatap sedih flat kumuh yang ditinggali anak sulungnya ini. Sungguh jauh dari kemewahan yang selalu diberikannya sejak anak−anaknya masih kecil. Lelaki paruh baya itu menyuruh dua pengawalnya tetap di depan pintu sementara ia mendudukkan dirinya di sofa berwarna abu kumal di ruangan sempit itu.

Tiba−tiba dari arah dapur muncul sosok Bella lengkap dengan apronnya. wanita manis berdimple itu membulatkan matanya. Dengan langkah yang kaku dan gemetar, ia mendekati sosok ayah Nathan dan membungkuk sopan.

"T−Tuan Roger."

"Duduklah." Kedua anak berbeda gender itu pun duduk berhadapan dengan sang Ayah. Nathan menatap ayahnya penuh waspada, takut jikalau ayahnya mengatakan hal yang akan menyakiti kekasihnya lagi. Sedangkan Bella menundukkan wajahnya sembari menautkan kedua jemarinya gugup. Ini ketiga kalinya dia bertemu dengan Tuan Roger. Tentu saja ia gugup dan takut karena kejadian di pernikahan itu benar−benar membuatnya merasa menjadi perusak keluarga orang. Membuat Nathan menjadi anak badung dan memilih meninggalkan keluarganya yang kaya hanya demi anak seorang pembunuh.

Normal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang