Chapter 1 Part 1

100 10 29
                                    

"Keith, tolong bawakan laporan ini kepada Kepala Desa."

Laki-laki yang sudah tidak muda lagi itu memberikan beberapa lembar kertas ke tanganku. Aku menyambutnya dengan penuh suka cita, ku beberkan senyum ramah kepada pria tua yang sedang berdiri di hadapanku ini.

Sebelum aku beranjak, aku sempatkan untuk sedikit membaca apa isi dari lima lembar kertas itu.

"Itu adalah laporan dari hasil panen desa kita tahun ini."

Laki-laki tua itu berkata dengan nada yang ramah dan penuh humor, dia sepertinya geli dengan sikap keingintahuanku yang memuncak. Usianya memang sudah terbilang tua—kepala empat, tapi semangat hidupnya seperti pemuda berusia 18 tahun. Warna putih uban yang memenuhi rambutnya malah membuat pria tua itu terkesan lebih muda dari orang tua kebanyakan.

"Baiklah, aku akan membawakan ini secepatnya kepada Kakek."

Aku membalikkan badanku dan bersiap untuk berlari.

"Jangan lupa sampaikan permintaan maafku! Aku tidak bisa meninggalkan rumah sebelum anakku pulang dari Ibukota!" teriak laki-laki tua itu sehingga membuatku menghentikan lari.

"Jangan khawatir! Kakek pasti akan mengerti!"

Sambil melambaikan tangan, aku membalas ucapan laki-laki kepala empat itu dan kembali berlari. Lembaran kertas yang tergulung di tangan kananku berguncang mengikuti arah ayunan tangan

Aku menghadang angin, menginjak rerumputan pendek, melompati sebuah tanjakan tinggi, dan menerbangkan debu tanah kering dengan hentakan kakiku. Butuh waktu yang cukup lama hingga pada akhirnya sampai di depan sebuah bangunan yang cukup besar.

Sembari mengatur pernapasan, aku masuk ke dalam dengan langkah yang mantap setelah merapikan lembaran kertas yang tergulung tadi.

"Kakek, apa aku mengganggumu?"

Daun pintu ruangan Kepala Desa terbuka saat aku mendorongnya, sepertinya Kakek lupa menutupnya.

Tidak ada orang. Kakek tidak ada di ruangan ini.

"Kakek pasti ada di lumbung."

Ucapku yakin, aku menutup pintu ruangan kerja Kakek kemudian berjalan menuju sebuah pintu yang terletak di sudut rumah.

Pintu yang tampak lebih besar dari pintu-pintu lain itu berderik dengan keras dan berat saat aku membukanya dengan lambat. Takutnya saat aku buka dengan cepat, suara yang terdengar akan menjadi lebih buruk dan membuat telinga berdenging.

Berbagai macam bau bercampur baur di ruangan ini. Karena lumbung ini tidak terkena cahaya matahari langsung maka hanya cahaya redup dari lampu penerangan sederhana saja yang menerangi ruangan ini, hanya saja warna oranye kekuningan tidak membuatku betah untuk berlama-lama di dalam sini.

Di penglihatan tampak berkilo-kilo karung gandum bertumpuk satu sama lain hingga mencapai langit-langit ruangan. Gandum adalah hasil panen terbanyak dan terbaik yang dimiliki desa ini tiap tahunnya. Di sisi kiri, aku bisa melihat ada dua ruas daun pintu yang lebih besar dari pintu terakhir yang aku masuki.

Seseorang yang aku cari sedang berdiri memandang tumpukan karung gandum yang hanya setinggi dirinya. Kakek berada tepat di depanku sekarang.

Botak licin di atas kepalanya dan berambut tipis di sisi kiri dan kanannya menjadi ciri khas Kakek yang tidak akan pernah dilupakan orang di desa ini. Jasa-jasanya begitu besar terhadap pembangunan desa sehingga uban-uban dan kebotakan yang dialaminya seakan menjadi tumbal demi terciptanya desa yang makmur lagi sejahtera.

Hanya saja, akhir-akhir ini Kakek terlihat begitu kurus dari sebelumnya. Kantung mata bergelantungan di bawah matanya dan garis-garis terlihat memenuhi keningnya, air mukanya juga tidak segar seperti biasanya. Kakek memang sudah tua tapi penampilannya tidak pernah setua ini sebelumnya.

"Kakek, Paman Alfredo meminta maaf karena tidak langsung datang membawa laporan ini."

Aku bisa melihat badan Kakek bergetar untuk sesaat, sepertinya aku telah membuat dirinya terkejut, tapi bukankah Kakek bukan orang yang semudah itu untuk melamun? Dia bahkan tidak menyadari kedatanganku.

"Oh, Keith. Berikan padaku," balas Kakek dengan begitu ramah, senyum lelah terukir di bibirnya, ingin aku bertanya tapi rasanya tidak sopan sama sekali.

"Oya, oya? Ada apa gerangan sehingga Alfredo tidak bisa kemari?"

"Anaknya akan pulang dari ibukota, dia tidak bisa meninggalkan rumah dan membiarkan momen yang telah ditunggu selama bertahun-tahun itu menjadi hambar."

Kakek tertawa sehingga tampak beberapa giginya yang telah ompong dan beberapa gigi lain yang bernoda hitam karena kebanyakan minum kopi.

"Oya, oya! Jeanne akan pulang hari ini, aku hampir lupa. Kepala Desa tampaknya juga harus menyambut kedatangan ahli herbal baru di desa ini."

"Aku jadi penasaran bagaimana penampilan Jeanne setelah 6 tahun ini."

"Oya, oya! Bagaimana kalau kita membuat sebuah pesta kecil-kecilan atas kepulangan anak Alfredo? Hmm! Ide yang bagus! Keith, kau yang urus promosinya, biar aku dan para stafku yang mengurus pestanya!" kata Kakek dengan nada bicara yang aneh, dapat ide, bertanya, dan menjawab sendiri.

Tangan Kakek memukul pelan pundakku, tapi aku merasakan getaran dari gerakan tangannya. Aku membalas ucapan Kakek dengan sebisaku, tersenyum dan terlihat bersemangat, meski aku benar-benar khawatir dengan keadaan Kakek sekarang.

Wajahnya pucat, butiran keringat begitu banyak menggantung di pelipisnya. Meski tersenyum dan tertawa dengan leluasa, itu tidak dapat menyembunyikan kegelisahan yang sedang mengambil alih wajah Kepala Desa sekarang.

Aku meninggalkan lumbung lewat pintu dua ruas itu dan memantapkan tujuan untuk mengabarkan perihal pesta yang akan digelar untuk menyambut kedatangan Jeanne. Persiapan pesta harus dilakukan secepatnya, karena kita tidak tahu kapan Jeanne akan datang, bisa saja sebentar lagi, atau mungkin sudah datang sebelum aku mengabarkan ke semua warga desa.

Dalam perjalanan, aku kembali memutar ingatanku ke beberapa waktu lalu. Tidak pernah aku melihat Kakek segelisah itu sebelumnya. Rasanya diriku sedang berbicara dengan orang yang berbeda saat itu. Apa yang sedang dicemaskan Kakek? Mengapa dia tidak memberitahu cucunya ini?

"Apa kau ingin tahu alasannya?

Terdengar sebuah suara entah darimana, dan itu suara perempuan. Itu membuatku tiba-tiba menghentikan langkahku di area berpasir.

Suara itu begitu nyata tapi asalnya tidak diketahui, dan wujud dari pemilik suara itu juga tidak diketahui keberadaannya. Suara itu begitu dekat, rasanya seperti suara itu berada di dalam kepalaku.

"Waktunya hampir tiba, Keith. Persiapkan dirimu."

Aku menyadari sesuatu, sebuah ingatan langsung terbuka di pikiranku. Aku kenal suaranya, itu suara seorang gadis yang ada di dalam sebuah mimpiku, dan akhir-akhir ini aku sering memimpikannya. Lumayan menyeramkan karena untuk pertamakalinya aku memimpikan sebuah visualisasi kosong yang hanya berlatarkan putih polos ditemani suara perempuan yang tidak aku kenal di dalam kepalaku.

Semakin yakin aku suara ini sama dengan suara gadis dalam mimpiku. Sifat cerianya dan kemisteriusannya. Tidak salah lagi.

Aku langsung menoleh ke kiri dan ke kanan, ke seluruh penjuru yang merupakan titik penglihatanku maupun titik butaku, tapi tidak ada siapa-siapa. Aku hanya berteriak tidak berguna. Suaranya yang langsung menyentuh otakku juga tidak bisa memberikan petunjuk yang jelas. Suara itu menghilang, seakan telah ditelan angin.

Apanya yang sudah tiba? Lagipula siapa gadis itu, dan bagaimana ucapannya bisa terdengar dalam kepalaku? Sepertinya dia tahu mengapa Kakek sangat aneh akhir-akhir ini.

Aku melanjutkan perjalanan untuk mengabarkan tentang pesta di rumah Paman Alfredo.

--Continued to Part 2--

AnugerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang