Prolog

3 2 0
                                    

Aku hanya bisa memandangnya, menatap senyumannya yang sangat kusuka dan mendengar tawanya yang terdengar sangat merdu di telingaku. Aku sadar, setelah sekian lama aku tidak pernah merasakannya, getaran ini datang kembali. Bahkan menurutku, perasaan ini datang terlalu cepat. Entah hanya rasa kagum semata, atau memang aku menyukainya. Aku tidak bisa membedakan keduanya. Terlalu sulit bagiku untuk membedakan keduanya. Karena untuk sekarang, apa yang kujalani adalah apa yang aku rasakan. Walaupun aku harus menahan semua ini agar tidak melewati batas horizon yang melentang. Batas teritorial yang aku buat untuk diriku sendiri.

Maura menutup buku diary – nya lalu dijatuhkannya punggungnya bersandar pada punggung kursi. Matanya menyipit, menatap jam dinding di dalam kamarnya yang remang karena lampu kamarnya sengaja ia matikan. Satu – satunya sumber cahaya yang ada disini adalah lampu belajarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tapi Maura tak kunjung tidur juga walaupun besok ia harus berangkat sekolah.

Seperti kebiasaannya setelah belajar, Maura selalu menyempatkan diri untuk mencoret sepatah – dua patah tinta hitam didalam buku diary – nya. Dan hal itu sudah menjadi kegiatan rutinnya semenjak awal masuk SMP. Dia selalu menulis kegiatan kesehariannya didalam buku diary – nya.

Maura menghela nafasnya, lega. Dia menatap buku diary – nya lalu tersenyum kecil. Disimpannya buku itu dilaci meja belajar, dan ditopangnya dagunya menggunakan kesepuluh jarinya yang saling bertautan. Keheningan malam ditambah gelapnya suasana kamar sama sekali tidak membuat gadis ini takut. Karena dia sudah biasa dengan situasi seperti ini. Bahkan bisa dibilang lebih dari biasa. Karena setiap hari, keheningan malam didalam kegelapan – lah yang selalu menemaninya.

Bibir Maura membentuk senyuman kecil. Fikirannya melayang jauh pada moment yang terjadi akhir – akhir ini. Dan segala hal yang mulanya kelabu, seketika berubah menjadi lebih berwarna. Lebih hidup, dan lebih nyata. Karena tak pernah ditemukannya hidupnya seseru ini. Dan menurut Maura ini adalah petualangan baru untuknya. Petualangan baru yang memacu adrenalin untuknya – setidaknya menurut Maura –. Maura tidak bodoh dengan tidak menyadari apa yang dirasakannya akhir – akhir ini. Gadis itu sangat menyadarinya, hanya saja dia tidak yakin. Lebih tepatnya, dia tidak yakin dengan dirinya sendiri. Karena apa yang dirasakannya kali ini tidak sama seperti apa yang ia rasakan sebelumnya. Maka dari itu, Maura ingin memantapkan hatinya sendiri.

Tapi, Maura tertegun ketika menyadari sesuatu.

"Apaan sih Ra! Lo ngaco deh! Lo udah janji kan enggak bakal lakuin hal yang sama?"

Maura menggeleng kuat – kuat lalu menundukkan kepalanya. Menatap kesepuluh jarinya – yang masih bertaut – yang ia taruh diatas meja. Fikirannya melayang jauh entah kemana. Hati dan fikirannya pun tidak sinkron membuat dia menjadi gelisah sendiri. Apa yang sedang difikirkannya?

Lagi – lagi Maura menggeleng kuat – kuat. Lalu, ditegakkannya tubuhnya dan kepalanya menengadah keatas. Menatap langit – langit kamarnya yang gelap.

Jarum jam yang berdetak menemani malam Maura. Hening. Maura masih tetap pada posisinya, sampai taksadar jam sudah menunjukkan pukul 23.20. Gadis itu menghela nafas lalu menatapponselnya yang belum ia sentuh sama sekali sejak ia mulai belajar. Dilihatnyajam digital di ponselnya. Dan saat ia menyadari sesuatu, ia mulai beranjak darikursinya dan memutuskan untuk tidur.    

LeaveWhere stories live. Discover now