My Power

36 5 6
                                    

London, di sinilah aku sekarang berada. Tepatnya di sebuah gedung megah berbentuk kubah bergaya inggris kuno, Royal Albert Hall. Ini adalah gedung yang biasa digunakan untuk pertunjukan konser musik klasik kelas atas. Lihat orang-orang di sekelilingku. Semua memakai jas dan gaun, handmade buatan penjahit pribadi mereka. Aroma parfum mahal silih berganti melewati hidungku. Baik pria dan wanita, semua berjalan penuh rasa bangga di atas karpet merah beludru. Tidak terdengar suara coklak coklak dari sepatu yang mereka kenakan, sepatu yang tidak kalah kinclong dengan body mobil mewah mereka.

Kebayakan orang yang datang tidak hanya untuk sekedar menikmati pertunjukan "17th Majestic Symphonia" yang legendaris itu, namun juga untuk memperluas relasi penting. Wajar suara obrolan berbahasa inggris dengan macam-macam aksen terdengar dari berbagai sudut tribun. Para penonton datang dari seluruh penjuru dunia. Tidak ada 'orang biasa' yang datang, karena harga tiketnya pun sangat tinggi dan dijual secara eksklusif. Jadi, hanya orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaanlah yang mampu menginjakkan kaki di tempat ini. Demi menunjang performa, hampir semuanya datang membawa pasangannya. Aku pun begitu. Walaupun dari markas The Chosen aku berangkat sendirian, dan di pesawat selama 7 jam pun aku masih sendirian, namun ketika sampai di Heathrow Airport aku mendapatkan seorang teman.

Kemarin saat pesawat yang kutumpangi telah mendarat sempurna dan aku keluar dari pintu kedatangan, aku sengaja melangkahkan kaki menuju pintu keberangkatan. Setelah menembus hiruk pikuk bandara, melewati orang-orang menjinjing barang bawaannya, aku sampai di pintu keberangkatan. Kedua mataku mulai melakukan observasi. Yang aku cari adalah seorang pria yang sedang mengantarkan kepergian sang kekasih. Biasanya, pasangan kekasih yang akan berpisah di bandara hanya pergi berdua, tidak seperti orang yang mengantarkan kepergian teman ataupun keluarga, ramai-ramai.

Di bandara yang sepadat ini, tidak sampai sepuluh menit observasiku membuahkan hasil, "Perfect! Sesuai dengan apa yang aku cari!"
Seorang pria berambut pirang dijambul ala-ala bangsawan, kira-kira umur mendekati dua puluh tahun, berparas tampan ala inggris, terlihat sedang melambaikan tangan pada seorang wanita yang terus bergerak masuk ke dalam ruang tunggu diiringi suara pengumuman yang tersiar silih berganti. Terlihat wajah si wanita sendu, pipinya memerah, mata birunya berkaca-kaca.
Mereka pasti pasangan kekasih.
Aku berjalan mendekati pria itu perlahan-lahan.

Terdengar dari jauh wanita itu berseru pada kekasihnya dengan suara parau, "Please, hubungi aku sebisamu, Sayang! Kapanpun itu! Jangan kamu berani melupakanku!" Logat Britishnya kental, diselingi sentrap-sentrup.
Beberapa detik kemudian, si wanita sudah lenyap dari pandangan. Meninggalkan sang kekasih pria bertampang lesu, berusaha menahan air mata. Ia balik badan, berencana pulang.

Aku pun segera beraksi! Kupercepat langkahku menuju si pria inggris, sambil menarik koper kecilku yang beroda empat.
Tap!
Tap!
Tap!
Tap!
Tap!
BRAKK!
Aku akting tersungkur di dekat pria yang sedang bersedih itu. Tubuhku terhempas ke lantai mengkilap bandara demi tampak lebih meyakinkan. Sakit sedikit nggak masalah.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanya si pria Inggris dengan ekspresi shock campur bingung. Ia pun mengulurkan tangan kanannya untuk membantuku bangkit.
"Ugghh.. Maafkan aku.." Aku meminta maaf sambil mengelus-elus lutut. kuraih tangannya dan bangkit.
"Aku yang minta maaf.." Alisnya naik, giginya menggigit bibir bawah, merasa bersalah rupanya.
"Tidak, aku yang salah.. Aku minta maaf aku harus menggunakan kekuatanku padamu."
"H-hah?"
"Aku akan menghapus ingatanmu."
"Pardon?"
Genggaman tanganku semakin mantap, kutatap kedua mata basahnya yang penuh tanda tanya. Aku sudah siap. Begitu mulutku mulai bicara, kekuatanku akan aktif.

"Mulai saat ini, kamu harus melupakan segala yang kamu ingat tentang kehidupanmu. Lupakan kekasihmu, lupakan kenapa kamu ada di bandara ini, dan lupakan tentang kegiatanmu sehari-hari."

Sesaat setelah ia mendengar ucapanku, si pria berambut pirang ini mendadak terdiam. Pandangannya mengarah ke sana ke mari. Menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Ia seperti orang linglung, tenggelam oleh perasaan bingung. Maklum, sekarang pikirannya blank. Bagaikan gelas yang sudah dibuang isinya, kosong.

Sorry British man, its nothing personal. Sebenarnya aku tidak ada hubungannya dengan kekasihmu ataupun kehidupanmu. Bahkan namamu pun aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Satu-satunya hal yang aku pedulikan adalah bagaimana aku bisa menyelesaikan misi dari The Chosen. Dan aku membutuhkanmu sebagai alat agar nanti aku bisa menghadiri "17th Majestic Symphonia" tanpa ada rasa curiga dari orang lain. Karena menurut sumber terpercaya, tidak ada penonton yang hadir tanpa membawa pasangan. Apalagi wanita.

"Emm.. Aku ada di mana ini? Sedang apa aku di sini?" Si pria Inggris mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia merogoh smartphone-nya, berharap ada informasi yang membantu. Namun justru ia malah semakin bingung. Ia tidak mengenal nama-nama orang yang ada kontaknya. Perlahan, rasa panik mulai menghampirinya. Terlihat dari ia menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali.

Nah, sekarang akan kuisi gelas kosong ini dengan isi yang baru.

"Hai, Robert. Kenapa diam saja? Ayo kita jalan."
"K-kamu siapa?" Tanyanya sambil mengedipkan mata berkali-kali, berusaha mengenali wanita berwajah oriental dengan rambut hitam lurus disanggul ala jepang, poni rata sealis.
"Ya ampun, ini bukan waktunya bercanda. Aku ini pacarmu, Robert! Ayo kita sudah ditunggu jemputan."
"Pacar? Emm.. Emm.. Kita mau kemana?"
"Kamu kenapa, sih? Jetlag ya? Kita 'kan jauh-jauh ke sini untuk menonton konser musik klasik favoritmu. Yuk jalan!" Kugandeng tangannya, menarik dengan lembut.
"I-iya.." Si pria Inggris hanya bisa pasrah.

Aku berjalan menuju mobil jemputan bersama pria yang aku namai "Robert" ini. Sesampainya di mobil aku langsung merebahkan punggung ke kursi. Menghapus ingatan orang butuh energi yang tidak sedikit. Tapi hasilnya selalu sepadan. Kini, otak Robert ibarat flashdisk yang telah di-format. Dan sudah aku isi dengan 'program' baru. Ini bukan metode hipnotis, bukan pula mantra. Jauh di atas semua itu. Ini adalah kekuatan yang aku miliki, Mind Breaking. Kekuatan yang membuatku terpilih menjadi satu-satunya eksekutor elite wanita The Chosen.

--------------------------------------------

Writer's Note:

Hai temen2,
Udah mulai kelihatan ya kekuatannya Arnelia..
Nanti akan aku ceritakan tentang gimana sistem kekuatannya bekerja.
Simak terus ya 😉

If you like this story, please kindly support me with Vote or Comment 😊

Mind BreakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang