Step 06

53 15 14
                                    

Semuanya berjalan seperti yang Teta harapkan. Ia mampu mempengaruhi Alfa dan membuatnya memilih jalan yang salah. Semuanya dibuktikan dengan adanya Alfa yang lebih sering menghubungi Alisa tiap malam, menanyakan kabarnya, apakah ia sudah makan atau belum, bahkan mengucapkan selamat malam dan semoga mimpi indah. Teta mengetahuinya dari cerita Alisa. Gadis itu tak henti-hentinya bercerita kepadanya setiap pagi. Satu minggu penuh disuguhi dengan cerita-cerita romansa seperti itu cukup membuat Teta muak. Jika ia tidak mengingat apa tujuan awalnya, mungkin ia sudah membungkam mulut Alisa dengan lakban hitam.

Steffy yang pesannya tidak pernah dibalas oleh Alfa, atau kadang hanya dibalas seperlunya juga bercerita kepada Teta. Mengutarakan segala sesuatu yang mengganjal hatinya tentang Alfa yang rasa-rasanya mulai menjauhinya. Dan Teta hanya memberinya saran untuk bersabar dan tetap bersemangat. Alasan yang sangat mainstream, mungkin Alfa sibuk, selalu ia ucapkan padanya. Selain itu ia juga bercerita bahwa hubungannya dengan Alisa entah karena faktor apa, menjadi agak renggang. Dan Teta juga merasakannya. Bagaimana bisa?

Saat Alisa bercerita kepada Teta tentang Alfa, Steffy yang mencoba ikut nimbrug pun diacuhkan. Bahkan Alisa menghentikan ceritanya ketika Steffy datang. Di kelas pun mereka jarang sekali berbicara seperti dulu. Alisa lebih sering berkutat dengan ponselnya dan Steffy memilih untuk membaca novel sambil mendengarkan musik lewat headphone. Mereka hanya berbicara saat hendak menanyakan pelajaran yang kurang dipahami. Atau saat salah satu dari mereka ingin ke kamar mandi atau ke kantin. Selebihnya mereka hanya saling diam. Perbincangan tentang Alfa pun hampir tidak pernah mereka lakukan.

Sebenarnya, Alisa juga mulai menyadari bahwa hubungan mereka renggang. Namun ia tidak berani untuk bicara pada Steffy tentang masalah ini. Ia takut jika nanti Steffy akan bertanya kepadanya bagaimana kabar Alfa. Jika ia menjawab yang sejujurnya, maka Steffy akan kecewa. Namun jika ia tidak jujur, sama saja ia menghianati sahabatnya. Oleh karena itu, ia memilih untuk menceritakannya pada Teta mengingat Teta adalah pihak yang netral.

Andaikan mereka tahu bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan yang fatal.

Ternyata hanya membutuhkan waktu dua minggu untuk membuat hubungan mereka retak, batin Teta dalam hati. Pengaruh Teta dalam hubungan mereka memang benar-benar dahsyat.

"Teta, gue galau banget deh," ucap Steffy pada Teta saat jam pelajaran berganti.

"Galau kenapa emang?" jawab Teta memalingkan wajahnya menghadap Steffy.

"Nanti aja deh gue ceritain." Steffy menjawab dengan raut yang agak murung.

Waktu terasa berjalan sangat lambat. Satu jam pelajaran yang pasalnya empat puluh lima menit terasa seperti satu tahun bagi kedua sejoli itu. Mereka bungkam seribu bahasa hingga Steffy memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu.

"Alisa, gue boleh pinjem penghapus lo?" tanyanya dengan canggung.

"Oh, boleh kok," jawab Alisa dengan canggung.

Hening menyapa untuk sesaat. Steffy membuka dan menutup mulutnya hendak menanyakan sesuatu namun ragu.

"Ehm, gimana Alfa?" Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya. Pandangannya masih berkutat dengan bukunya.

Alisa sempat tersentak, namun ia mencoba umtuk tetap tenang. "Dia... ya gitu deh," Akhirnya ia menjawab.

"Masih sering chatting?"

"Ehm, ya gitu deh."

"Oh."

Alisa menggigit bibir bawahnya  mendengar kata terakhir yang keluar dari mulut Steffy. Bertahun-tahun berteman dengannya membuat Alisa tahu tabiat Steffy ketika ia sedang unmood, yaitu dia akan berbicara dengan cara yang sesingkat-singkatnya seperti teks Proklamasi.

"Terus, lo...," tanya Alisa menggantung. Steffy hanya tersenyum tipis. "Gimana lo sama Alfa?" tambahnya

"Yang jelas nggak kayak lo." Steffy menjawab dengan pandangan yang masih tertuju pada buku.

"M-maksudnya?"

"Udah lah, nggak usah dibahas," jawabnya dengan tersenyum. Dari kalimat itu, Alisa tahu bahwa hubungan Steffy dan Alfa juga tidak baik. Dan ia menyesal telah menanyakannya.

Ia memandang Steffy yang masih berkutat dengan bukunya sejenak. Sekilas ia tampak serius. Namun Alisa bisa melihat bahwa ia tidak baik-baik saja setelah ia mengetahui bahwa Alfa hanya merespon salah satu dari mereka. Dan Alisa yakin bahwa senyum yang ia lukiskan tadi hanyalah sebuah topeng untuk menutupi lukanya. Alisa hanya mengembuskan napas putus asa. Kini ia tidak tahu harus bagaimana. Meskipun Steffy tidak menampakkan kemarahannya pada Alisa, ia tahu. Karena mereka sehati.

Teta yang diam-diam memandang mereka dari singgasananya tersenyum sinis. Ia sudah mulai melihat adanya api kecil yang dapat membakar hubungan mereka. Api yang jika setiap hari ia beri minyak tanah dan spiritus, akan membakar relung hati mereka secara sekejap. Lalu ia akan mengguyurkan air dengan deras. Walaupun apinya mati, tetapi air itu mampu merusak dan memporak-porandakan sebuah pondasi hubungan yang terbangun. Hingga semua layaknya kebakaran bercampur dengan tsunami. Hancur lebur rata dengan tanah.

Teta tersenyum sinis. Sangat tipis. Hingga siapapun tidak akan pernah menyadarinya. Mereka berdua mengaku sudah bersahabat sejak lama. Namun ia tidak menyangka bahwa hanya karena seorang cowok rese seperti Alfa, hubungan mereka merenggang. Alfa memang benar-benar hebat.

Bukan. Tidakkah seharusnya ia yang hebat?

Game of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang