Pandora#02

213 31 11
                                    

Hai Readers maaf di bab ini nggak ada horornya, maaf ya, tapi ada karakter baru, hehehe, have fun reading, ya! ^^
---------------------------------------------------
Audric melangkah keluar dari sekolah, aku mengikutinya, aku tidak begitu yakin untuk mengikutinya tapi apa boleh buat, hanya dialah satu-satunya harapanku untuk selamat saat ini.

Tiba-tiba aku mendengar ada sebuah suara seperti lolongan serigala, aneh, mana ada serigala di siang bolong begini?

Audric menarik tanganku, ke celah, seperti jalan kecil yang gelap di antara dua rumah, ia membekap mulutku.

"Jangan berisik," bisiknya. Matanya dengan was-was menatap keluar celah itu.

"Kau satu-satunya harapan kami, Alexander," sebuah suara yang berat terdengar dari luar celah, walaupun tidak begitu jelas namun masih dapat kudengar.

"Aku mengerti," jawab seseorang, yang sepertinya bernama Alexander.

"Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi, besok kau sudah harus memulai kehidupanmu yang baru," kali ini suara berat iu terdengar sedikit melemah.

"Tapi.., aku tidak mungkin bisa melakukannya, Paman," jawab Alexander.

"Kau harus bisa, bukankah Paman sudah melatihmu setiap hari?" tanya Pamannya Alexander.

"Aku tidak berlatih untuk memulai kehidupanku yang baru! Aku berlatih untuk membahagiakanmu, Paman!"

"Dengar, Paman sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi, perjanjian Paman dengan iblis itu sudah hampir habis. Jadi sekarang, dengarkanlah Paman, kau harus mencari seorang gadis yang bernama A-."

Tanpa sengaja, aku menginjak ranting yang ada di sebelahku, bunyinya terdengar sampai ke telinga mereka. Detak jantungku berdegup tak beraturan. Keringat dingin menetes dari keningku.

"Siapa disana?!" terdengar suara benda tajam.

Audric menatapku dengan tajam, mungkin dia kesal, tidak, tentu saja dia kesal, aku memang sangat ceroboh.

"Aku mencium aroma manusia, Paman," ucap Alexander.

"Dari mana?" tanya pamannya.

"Lorong sempit di sana, Paman," Alexander menunjuk ke gang sempit tempat persembunyian kami.

Audric menggenggam tanganku, kemudian menariknya, mengajakku berlari menembus lorong sempit yang gelap.

Napasku menderu. Maafkan aku, Audric. Batinku dalam hati, tapi aku terlalu takut untuk mengucapkannya langsung.

Sial, kenapa lorong ini panjang sekali, sih? Aku mendengus kesal. Satu belokan, dua belokan, hingga empat belokan, belum ada jalan keluar, sampai di belokan kelima ternyata yang kami temukan hanyalah... jalan buntu.

"Jalan buntu," bisik Audric lirih. Ternyata, ujung dari lorong ini adalah tembok besar yang menutupinya, tanpa celah sedikitpun.

"M-maafkan aku," aku menunduk, pada akhirnya aku dapat mengucapkannya secara langsung.

Audric diam, ia menghela napas. "Tidak ada gunanya untuk menyesali perbuatanmu sekarang, yang aku pikirkan..."

Audric mendongak, menatap tembok yang kira-kira tingginya setara dengan gedung dua lantai." Bagaimana cara kita keluar dari sini?"

The Right EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang