Tiba saat rembulan ada di puncak kepalaku. Dia bersinar menerangi langit malam yang sayup-sayup memperlihatkan ribuan bintang. Aku yang duduk di teras rumah hanya bisa mengamatinya tanpa bantuan kaca pembesar atau teropong, tapi dia begitu indah walau hanya dengan mata telanjang.
Sambil ditemani kopi panas yang mengisi penuh cangkir, malam ini aku menunggu seseorang. Dia adalah Lala. Dia janji ke rumahku untuk mengirimkan paket dari Araya, kekasihku yang sedang berada di negeri Jiran, Malaysia untuk pendidikan sarjana. Lala adalah sahabat Araya, yang juga dekat denganku.
Hubungan kami terlampau aneh sejak Araya berada di Malaysia. Ini aku rahasiakan darinya karena banyak alasan. Hubungan kami, adalah hubunganku dengan Lala. Aku dan Lala sering bercakap di kafe sambil minum kopi kala hujan. Aku dan Lala juga sering bermain-main di perpustakaan mencarikan novel baru untuk Lala.
Hal-hal sepele yang aku sendiri tidak begitu yakin itu adalah perlakuan wajar. Kadang aku merapikan rambut panjangnya yang tertiup angin kalau kami sedang lari-lari pagi. Kadang dia juga menyeka keringatku seusai aku bermain basket dengan teman kuliahku. Hal-hal itu yang paling tidak aku suka. Sekilas melupakan sosok Araya yang sedang berjuang dengan buku-buku kedokteran dan mencapai langkah-langkah berat menuju suksesnya.
Ya, saat aku bersama Lala, kadang gelap yang kurasakan tanpa Araya tiba-tiba hilang. Berganti berkas-berkas cahaya yang selalu meluas sampai aku bisa tersenyum lebar di depannya. Dia menggantikan Araya begitu pas. Tidak melebihi sosok Araya.
Sekarang angin malam mulai kencang. Aku merekatkan jaketku untuk menutupi rasa dingin yang menusuk sampai kulit. Dan sampai pukul sembilan malam ini, Lala belum juga mengirimkan paket yang dia janjikan. Aku tidak menghubunginya karena dia yang melarangku. Dia bilang, tidak perlu menelepon karena dia pasti akan mengantarkan paket itu.
Ketika angin semakin kencang, aku mencoba menyesap kopi panasku yang mulai mendingin. Tak lama ada suara gerbang yang terbuka. Aku menyipitkan pandanganku melihat siapa yang datang.
Sosok perempuan dengan jaket rajut berwarna krem membuka gerbang dan memasuki rumahku. Di tangan kanannya ada tas jinjing agak besar.
Aku berdiri dan menyambutnya. "Lama juga, sampai kopiku dingin," ucapku.
Dia tersenyum lebar dan meletakkan bawaannya di meja kecil di teras rumahku. Lalu dia duduk.
"Aku jalan kaki, jadi lama. Maaf ya," ucapnya.
"Kenapa nggak bilang? Biar aku aja yang ke rumahmu tadi."
Dia menggeleng sambil melirikku. Terlihat dia sangat manis malam ini. Sebenarnya ada yang melebihi Araya, senyum Lala yang tidak pernah berbohong, tulus sekali dia hamburkan ke orang lain. Aku sendiri juga heran. Seolah sihir senyumnya mampu membuatku hilang akal dan melupakan Araya.
Aku meliriknya yang sendang menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Dingin, La?" tanyaku.
Dia mengangguk.
"Aku buatkan teh hangat?" tawarku. Setidaknya agar dia bisa hangat sedikit.
Lala hanya mengangguk sambil merapatkan jaket rajut yang dia pakai. Lalu menggeser bawaan tadi.
Tas yang berisi sesuatu dari Araya. Aku geser ke arahku dan mulai membukanya. Terlihat sekotak sedang berwarna biru dengan pita di atasnya. Kubuka kotak itu. Buku-buku desain grafis. Kulirik Lala sebentar lalu kuamati lagi buku-buku di depan. Kuambil.
Ada satu buku yang membuat aku penasaran. Buku yang berjudul 'Cahaya Perpisahan' karya Alexa Dwimanta yang membuatku terkesiap. Lewat judulnya saja aku merasa aneh dengan maksud Araya mengirim buku-buku ini. Meskipun ditutupi oleh beberapa buku desain grafis untuk bahan kuliahku, buku Cahaya Perpisahan membuatku bingung setengah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Lovember [EVENT]
Historia CortaDidedikasikan untuk event Lovember Readers Writters Club