Selepas bulan November yang masih menenangkan. Kali ini aku tidak pernah menyangka bahwa bulan mengabulkan harapku, bintang mendengar pertanyaanku, dan angin malam berbisik balik padaku, bahwa dia akan datang untukku malam ini. Riuh rumahku karena akan diadakan acara syukuran bertambahnya umurku di tahun ini, membuatku sedikit kebingungan harus kemana aku sekarang. Berbalut kemeja putih dan celana jeans biru, aku berjalan memutari ruang tamu, untuk sekedar melihat-lihat apa yang kurang.
Tamu terbaik akan datang malam ini. Cahayaku akan datang. Dia adalah Araya Lunardhi, perempuan cantik dengan rambutnya yang sekarang dicat pirang, yang selama ini mengisi penuh ruang hatiku. Araya datang dari Malaysia untuk malam ini. Entah apa yang akan dibawakannya, tapi kedatangannya saja sudah membuatku senang.
Semua perlengkapan sudah terpenuhi. Makanan sudah siap saji. Lampu-lampu dekor sudah tertata di tempat yang seharusnya. Aku melirik ibuku yang tengah menyiapkan kue ulang tahun. Dia menghias sedikit kue itu dengan lilin yang berbentuk angka dua puluh dua berwarna putih. Belum dia nyalakam karena takut leleh. Lalu tangan-tangannya yang sudah mulai keriput beralih ke piring-piring kecil yang ditatanya di samping kue. Tidak lupa garpu kecil ditata di dalam kotak.
Aku lalu mencari ayahku yang ternyata sedang berbincang-bincang dengan Rehan, sepupuku yang juga dalam di balik acara ini selain aku. Ayah berbincang sambil tertawa sebentar. Ayah yang mendukung besar hubunganku dengan Araya sejak aku membawanya ke rumah dan memperkenalkannya pada ayah. Padahal ibuku juga. Tapi ayah lebih terlihat cerewet jika aku sedang marahan dengan Araya.
Mataku beralih pada Lala, yang sedang merapikan kotak-kotak makan yang sudah diletakkan di meja panjang oleh pembantuku. Kuhampiri dia.
"Araya pasti kelihatan beda malam ini, soalnya aku rindu." Aku menyamainya. Berhenti di sampingnya sambil tersenyum. Dia menoleh dan tersenyum juga.
"Pasti. Tapi aku merasa aneh kalau dia pulang," ucapnya.
Raut kebingunganku muncul.
"Aku merasa sudah memilikimu sejak di kuliah di Malaysia. Bodoh sekali. Aku bahkan nggak sadar kalau kamu masih bersama Araya, masih menjalin hubungan dengannya. Aku nggak bisa menaruh apa pun ke kamu sekarang ataupun nanti, sampai kapan pun."
"Kamu ini bicara apa?" Aku bingung.
"Ya, hatimu nggak bisa kumasuki meski aku menjadi cahaya yang lebih berkilau daripada Araya. Karena Araya sudah memenuhi hatimu tanpa bisa dirubah, itu sudah mutlak. Maaf selama ini aku menganggapmu terlalu serius, Bay."
Selepas dia mengatakan itu, aku merasa bersalah. Seakan aku mempermainkannya saat sampingku terasa kosong tanpa Araya. Aku mempermainkan Lala begitu mudah. Kuajak dia kesana-kemari tanpa memikirkan bagaimana perasaannya. Hasilnya dia menganggapku serius, dan dia terlihat seperti sudah masuk dan berperan menjadi orang ketiga. Salahku. Aku yang menyamankannya.
"Salahku. Aku yang melakukan kesalahan. Kamu nggak perlu minta maaf, La. Maaf menjadikanmu seperti orang ketiga. Aku nggak maksud seperti itu. Aku juga masih mencintai Araya, nggak bisa dirubah seperti apa. Aku yang harus minta maaf," ujarku.
Tanggapannya hanya tersenyum. Senyum yang tidak bisa diartikan. Aku yang tidak bisa mengartikan senyuman Lala.
Tak ada jawaban lain, dia melakukan kegiatannya sebelum aku menghampirinya dan mengecewakannya. Aku yang sadar dia tidak menganggapku lagi, lalu membiarkannya dan pergi menuju yang lain.
-
Sebuah mobil hitam memasuki latar rumahku. Aku tahu itu setelah Rehan memanggilku untuk keluar. Sepertinya tamu terbaikku yang datang.
Setelah mobil terparkir dengan baik, dari pintu belakang keluarlah seseorang dengan balutan gaun pendek selutut berwarna biru muda. Rambutnya yang masih blonde dia gulung dan angkat ke atas membentuk sanggul. Tidak lupa menyematkan kalung putih yang biasa dia pakai di lehernya. Dia keluar dengan menebar senyum. Senyumnya lebar sehingga aku mengikuti senyum itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Lovember [EVENT]
ContoDidedikasikan untuk event Lovember Readers Writters Club