BAB 4

567 82 26
                                    

Hujan belum juga turun, padahal awan yang menggantung di langit sepertinya sudah sangat siap menjatuhkan tetesan air. Luna berhenti mendorong sepedanya tepat di dekat pedagang martabak yang berada di depan komplek perumahannya. Ia bahkan tidak sadar sudah berjalan sejauh ini.

Luna merogoh saku sweater-nya dan tidak menemukan selembar uang pun, padahal Luna ingin sekali makan martabak telur. Luna sudah lupa kapan terakhir kali ia makan martabak. Ketika Ardan masih hidup, Luna hampir setiap malam makan martabak saking sukanya. Beliau akan membeli satu porsi besar untuk Luna dan Rani sepulangnya bekerja. Sayangnya itu harus berakhir tiga tahun lalu ketika maut merenggut nyawa Ardan.

Luna menghela napas. Gadis itu duduk di trotoar dekat pedagang martabak yang sempat menatapnya iba. Dagunya ia tumpukan pada tangan, menatap lurus pada jalan yang ramai oleh kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Sudah pukul 21.00 dan jalanan masih saja ramai oleh orang-orang yang beraktivitas.

"Neng, martabak Neng," panggil Mang Anto dari balik gerobaknya.

"Lagi nggak bawa uang, Mang."

"Walah... kayak apaan aja, si Neng mah. Nggak apa-apa atuh, sekali-sekali."

Mendengar Mang Anto, Luna lantas tersenyum tulus. Mang Anto memang paling mengerti situasinya. "Makasih ya, Mang Anto."

Mang Anto sudah mengenal Luna sebagai langganan tetapnya. Mang Anto hapal betul kesukaan gadis itu. Selain itu, Mang Anto juga merasa sudah banyak dibantu oleh Ardan untuk melanjutkan usahanya ini. Ia merasa patut berterima kasih.

Makanan Luna selesai sepuluh menit kemudian. Masih panas tapi cacing di perutnya sudah berdemo. Luna tersenyum pada Mang Anto penuh rasa terima kasih kemudian mulai menyantap martabaknya.

Ketika tiba-tiba sebuah mobil terparkir di depannya, Luna mendongak. Sepertinya ia mengenali mobil itu.

Bukannya mobil Faren? batin Luna.

Ketika Luna yakin mobil yang berada satu meter di depannya adalah benar-benar mobil laki-laki itu, Luna berdiri dan mencoba melihat si pengemudi dari tempatnya. Dan memang benar, itu Faren. Tapi mengapa ia tidak keluar dari sana?

Luna baru akan berjalan mendekat tapi tiba-tiba Faren membuka pintu dan keluar dari sana. Tatapan mereka langsung bertemu, ada keterkejutan yang tergambar jelas di wajah masing-masing. Lalu Faren menghampiri gadis yang dibalut sweater biru navy itu.

"Lo ngapain di sini?" –Faren menatap sekelilingnya, "sendiri? Kayak gembel."

Luna hanya menggeleng pelan dengan wajah yang menunjukkan ketersinggungan karena dikatai gembel. Ia meneliti wajah Faren yang tidak secerah biasanya, tidak ada wajah jahil laki-laki itu di sana. Bahkan mata Faren tampak sembab. Mungkin terlihat seperti keadaan wajahnya sekarang akibat menangis. Tapi, mana mungkin cowok macam Faren bisa menangis?

"Lo sendiri ngapain?"

Faren mengangkat bahu lemas. "Nyari udara segar?" Ucapannya terdengar tidak yakin.

Faren menghampiri Mang Anto dan memesan martabak manis, kemudian kembali mendekati Luna yang masih berdiri di tempatnya tadi. "Kenapa nggak pulang?"

"Nunggu hujan dulu," jawab Luna singkat.

Faren terkekeh. "Kalo cewek normal nih, pasti pulangnya sebelum atau setelah hujan reda, lah elo malah mau nunggu hujan baru pulang. Heran gua...."

"Maksud lo gue nggak normal?"

Melihat Luna yang nampak sudah diliputi amarah, Faren malah makin semangat menjahili gadis itu. "Yaa ... kind of weird."

Faren dapat melihat tanduk transparan di kepala gadis mungil itu yang bersiap menerkamnya. Faren langsung menjauh, namun Luna berusaha mengejar Faren.

Tentang Rasa yang Diselundupkan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang