BAB 6

494 68 34
                                    

Masih sore.

Tidak biasanya Faren sudah di kamar dan menatap langit-langit bermotif awan. Hujan di luar sana begitu deras, membuat Faren jadi mager alias malas gerak. Raganya memang di sana, di atas tempat tidur bergambar bendera Amerika itu, tapi pikirannya berada di tempat lain. Seorang gadis lebih tepatnya.

Luna Shaqueena Almara. Gadis yang selama ini ingin Faren hindari tapi selalu menarik perhatiannya setiap kali Luna dan kecerobohannya itu terjadi di depan mata. Faren suka melihat wajah galaknya yang imut, Faren suka melihat rambut Luna yang selalu di ikat satu. Dan yang paling ia sukai dari gadis mungil itu adalah ketika ia begitu gembira menyambut hujan datang.

Ya, dia memang gadis hujan. Seorang pluviophile.

Sama seperti dulu.

♥♥♥


9 tahun yang lalu....

Kilat kecil dan suara guntur menemani sore hari yang kelabu dengan awan hitam. Sudah hampir malam hari dan juga mendung; hujan deras akan turun sebentar lagi.

Faren masih tetap di lapangan basket itu, duduk menyendiri di tengah-tengah dan menatap kosong pada ring basket di hadapannya. Ia malas pulang. Suasana rumahnya sedang tidak baik hari ini. Orangtuanya berdebat kian hebat, membuat Faren lelah berada di sana untuk menyaksikannya. Meskupun usia Faren baru menginjak angka 7, ia mengerti, orangtuanya memperdebatkan hal yang sebenarnya sangat sederhana. Hanya untuk meluangkan sedikit waktu saja bersama Faren. Tapi masing-masing tidak ada yang mau memberi waktu untuknya, barang sehari saja untuk berlibur. Sialnya, mereka berakhir dengan suatu pertengkaran. Di hadapannya.

Ketika awan-awan hitam itu tidak mampu lagi menahan bobot air, perlahan rintik-rintik hujan membasahi bumi satu persatu, memberikan aroma pertemuan rintikan hujan dan tanah kering yang khas. Mereka menyebutnya petrichor. Dan tak ada yang lebih menenangkan dibandingkan aroma ini.

Hujan turun semakin deras. Faren masih saja duduk di sana. Kaki yang awalnya selonjoran ia silangkan, kepalanya menunduk dalam. Perlahan... air mata Faren ikut luruh.

Apa salah jika ia menuntut sedikit waktu kedua orangtuanya? Karena yang Faren butuhkan sekarang hanya itu.

"Kamu ngapain hujan-hujanan di tengah lapangan?" Tiba-tiba suara seorang anak perempuan terdengar dari arah belakang Faren.

Anak laki-laki itu lantas mengusap wajahnya dan menatap gadis kecil itu dengan mata menyipit. "Kamu siapa?"

"Kamu kenapa?" Gadis itu mengabaikan pertanyaan Faren.

"Nggak apa-apa."

Faren menegakkan badan ketika gadis itu berjalan mendekat. Pakaiannya basah kuyup, rambutnya juga. Melihat bibir gadis itu sedikit bergetar, Faren sadar ia sudah main hujan sejak tadi.

"Kamu nggak takut sakit? Bibir kamu pucet," kata Faren.

"Nggak apa-apa, aku suka main hujan kok." Gadis kecil itu mengusap air yang mengaliri wajahnya. "Kalau kamu mau hujan-hujanan, nggak gitu caranya. Nggak asik! Ayo aku tunjukin." Faren berdiri dari duduknya, mengikuti gadis itu melangkah.

Kemudian gadis itu menengadahkan kepala, tangannya terlentang di sisi kanan dan kiri sementara bibirnya melengkungkan senyum seperti bulan sabit. Di sana, di wajah mungilnya yang sudah pucat, Faren merasa melihat semburat merah. Dan gadis itu sungguh lucu...

Tentang Rasa yang Diselundupkan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang