"Fokus! Fokus! Fokus!" sudah hampir seratus kali Irena mengucapkan kata itu.
Sudah hampir empat jam dia duduk menghadapi buku Fisika yang bertengger di meja belajarnya, mencoba menyantolkan rumus-rumus Fisika ke otaknya.
Namun sia-sia, yang nyantol di otaknya adalah sosok Rey, sahabat kakaknya yang mulai malam ini sampai dua minggu ke depan akan seatap dengannya.
Rey sementara menginap di rumahnya karena tempat kost cowok itu sedang direnovasi.
"Hadeuh, kalau kak Rey dua minggu di sini, bisa gagal fokus terus nih," gumam gadis SMA kelas XII-IPA itu.
Akhirnya Irena menyerah dan mendaratkan tubuh mungilnya di atas kasur, berniat bangun lebih pagi untuk melanjutkan urusannya dengan rumus Fisika.
"Tapi... asyik juga sih, bisa lebih dekat, lebih akrab," lanjut gadis bermata coklat itu sambil cengar-cengir menatap langit-langit kamar.
Bayangan wajah Rey yang nyaris sempurna di mata kaum hawa tak bisa lepas dari angan-angannya. Postur tinggi berisi, mata yang tajam, hidung runcing, alis tebal, senyumnya yang ramah, semua itu membuat rasa kantuk seolah enggan mendekati mata bulat Irena.
Gadis itu tetap terjaga ditemani khayalan, hingga pukul dua malam dia baru benar-benar memasuki alam mimpinya.
♡♡♡
Akibat begadang dengan imajinasinya semalam, kini Irena harus mandi kilat, tidak sempat melanjutkan belajarnya yang tertunda, tidak sempat sarapan dan harus berantem dengan Evan, kakak satu-satunya.
"Kak Evan! Buruan! Udah siang!"
"Perut gue mules!! naik angkot aja!!" teriak Evan dari dalam kamar mandi.
"Apa?! naik motor aja bisa telat! apalagi naik angkot!" Irena yang sedang sibuk memakai sepatu semakin jengkel dengan kakaknya.
"Tapi perut gue mules, Iren!!"
"Tapi ini udah sangat telat, kak!!"
"Hadeuh...kenapa harus pakai teriak-teriak sih? Udah kaya di hutan aja," Ibu Widya, mamanya Evan dan Irena yang dari tadi sibuk dengan tanamannya di samping rumah, akhirnya memotong perdebatan kedua anaknya.
"Kak Evan yang mulai," jawab Irena kesal, lalu mencium tangan mamanya dan beranjak keluar.
"Kamu nggak sarapan?"
"Udah telat," Irena menjawab tanpa menghentikan langkahnya, berniat menghubungi Albert, teman seangkatan Evan yang sekaligus temannya sejak lahir. Kebetulan rumah Albert tidak jauh dari rumahnya.
Namun tiba-tiba kakinya mengerem mendadak karena ada sosok yang muncul di depannya. Sosok yang telah membuat dirinya gagal fokus.
Jujur, Irena menyesal karena saat ini pasti mukanya sangat asam gara-gara Evan.
"Mau gue anterin, Ren?"
Tawaran yang tak mungkin Irena tolak. Tapi ragu juga jika tiba-tiba menerima, mereka kan belum terlalu akrab, meski sudah beberapa kali bertemu.
Irena mengatur detak jantungnya, menata perasaannya, dari emosi menghadapi Evan, kini dia harus lembut menghadapi malaikat penolong, Reynald Dewantara.
"Tante, saya izin nganter Iren, ya. Kasian udah siang," kelamaan menunggu jawaban Irena, Rey langsung meminta izin kepada Ibu Widya yang masih berdiri di belakang anak perempuannya.
"Emangnya kak Rey nggak kuliah?" pertanyaan Irena muncul sebelum mamanya memberikan jawaban.
"Masuk siang," jawab Rey singkat.
"Yang penting hati-hati di jalan, Rey. Jam segini banyak yang ngebut karena kesiangan," ucap Bu Widya.
"Iya, tante. Kami permisi dulu. Ayo, Ren," ajak Rey.
Irena berjalan di belakang Rey, canggung.
"Kak Rey yakin mau nganterin aku?" tanya Irena setelah berdiri di depan motor.
"Iya, emang kenapa?" Rey memakai jaketnya.
"Sekolahku jauh lho."
"Justru itu, karena sekolahmu jauh, ayo buruan!" Rey menyerahkan helm kepada Irena.
Motor ninja milik Rey berjalan cepat, membelah kepadatan kota. Akhirnya Irena bisa sangat dekat dengan Rey, seperti mimpi.
Untuk kali ini Irena akui kenyataan lebih indah dari pada khayalan. Tapi untuk ulangan Fisika nanti, kemungkinan besar kenyataan akan lebih buruk.
♡♡♡
Jam istirahat pertama Irena lebih memilih fokus dengan bukunya.
Setelah membeli roti dan air mineral, ia langsung kembali ke kelas.
"Emang lo belum belajar sama sekali?" tanya Rara, teman sebangkunya yang ikut kembali ke kelas.
Tak biasanya Irena nampak sekhusyuk ini.
"Sedikit," jawab gadis itu sambil mengunyah roti, matanya fokus pada buku di depannya.
Andai saja dengan memakan buku itu rumus Fisika akan pindah ke otaknya, Irena akan menyantapnya dengan lahap.
"Tumben, begadang nonton bola ya? Pantesan tadi pagi telat."
Irena sekilas melirik ke arah Rara, seolah berkata jangan berisik!
Untung Rara sangat paham dengan lirikan itu dan langsung berucap, "siap!" dengan tangannya yang memberi hormat.
Irena tersenyum, lalu kembali menatap deretan rumus Fisika.
Saat ini ia tak ingin seorang pun tahu kalau di hatinya sedang tumbuh bunga-bunga yang lebih indah daripada bunga di taman samping rumahnya ataupun ratusan bunga di kios mamanya.
"Oh, ya. Besok ngerjain tugas Bahasa Indonesia di rumah gue ya," ucap Irena tiba-tiba.
Rara mengernyit. "Ini dulu!" ucapnya sambil menunjukkan buku Fisika.
Irena hanya mencibir kesal lalu kembali ke bukunya.
Akhir-akhir ini Rara susah kalo diajak belajar di rumah gue, apa perlu gue kasih tau kalo di rumah gue ada cowok ganteng yang ngalahin kak Evan dan Abet?
♡♡♡
Hai... hallo...
Akhirnya bisa mindahin coretan ke sini.
Gimana awalnya? Kurang menarik ya? Mohon kritik & saran ya.... thnx uSalam kenal semua....
Noeroeliit
KAMU SEDANG MEMBACA
Rantai Cinta
Teen FictionMencoba mencintai dan berusaha melupakan dalam waktu bersamaan itu amat sangat sulit. Apalagi yang akan dicintai dan hendak dilupakan itu sosok yang selalu muncul di depan mata.