Di depan taman mungil nan indah nampak dua gadis yang sedang fokus mengerjakan tugas, mereka duduk beralaskan lantai.
Taman hasil karya Bu Widya yang berada di samping rumah memang tempat favorit, terutama bagi Evan, Irena, dan teman-temannya.
"Kak Evan!! nggak sopan! itu punya Rara!" teriak Irena saat menyadari ada yang berdiri di sebelah meja, dan mendapati jus strawberry masuk ke perut Evan begitu saja.
Gadis itu menyesal menaruh jus di atas meja, sementara dari tadi dia dan Rara asyik di bawah.
Detik selanjutnya, Irena berdiri, siap perang dengan kakaknya.
"Yah... sorry, Ra. Biasanya kan Iren yang suka jus strawberry," Evan pasang muka menyesal. Lebih tepatnya pura-pura menyesal.
Rara hanya mengangkat bahu, dia tahu Irena yang akan melakukan penyerangan.
"Ya udah sana bikinin lagi, nggak pakai lama!" perintah Irena lalu hendak kembali ke posisi semula, namun dengan cepat Evan menarik tangan adik semata wayangnya itu.
"Lo nggak lihat ada teman-teman gue?" bisik Evan, matanya menunjuk kepada Albert dan Rey yang berjalan ke arah mereka.
"Trusss..." Irena memutar bola matanya.
"Sebagai adik cewek yang baik, cantik dan penurut harusnya lo yang bikinin minuman buat mereka, kan sekalian bikin buat Rara," suara Evan mendadak lembut, bibir tersenyum manis, sedangkan mulut Irena mengaga.
Sementara itu Albert dan Rey sudah duduk di depan mereka.
"Sayangnya aku adalah adik yang jahat, jelek, dan pembangkang. Jadi, silahkan bikin minuman sendiri! sekalian gantiin punya Rara!" Irena kembali duduk di lantai, bodoh amat!
"Hei, dua hari ini Rey udah berbaik hati nganterin lo, dan sekarang gue minta lo bikinin jus buat dia aja nggak mau, dasar nggak tau terima kasih!" suara Evan kembali tegas.
“Evan...." suara Rey tertahan karena Evan segera mengangkat tangannya, kode agar Rey tidak melanjutkan ucapannya.
Rey merasa kalimat Evan terlalu lebay, jelas-jelas dia ikhlas mengantar Irena ke sekolah, dia tidak mau Irena salah paham.
Sementara itu, Irena segera mendongak saat mendengar ucapan kakaknya yang terasa sakit di telinga. "Oke!" jawabnya, lalu melangkah ke dapur.
"Yess!!" suara Evan pelan namun puas, senjatanya berhasil menaklukan adiknya yang keras kepala.
Rey dan Albert hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
Rara yang hafal dengan kelakuan adik kakak itu lebih memilih pura-pura fokus dengan buku-buku di depannya.
"Rara Florencia?" panggil Rey agak ragu, Rara menoleh.
"Bener kan Rara Florencia?" Rey memastikan, Rara mengangguk sambil mikir, mencoba mengingat sosok yang menyebut namanya dengan lengkap.
"Kak Reynald Dewantara?" tanyanya setengah tak percaya. Rey balas mengangguk.
Keduanya tersenyum dan saling sapa, membuat Evan dan Albert bengong.
"Kalian saling kenal?" tanya Evan penasaran.
"Dia adik kelas gue waktu SMP," jawab Rey dengan senyum. "Jago banget dia baca puisi," tambahnya.
Rara sedikit tersipu karena pujian Rey.
"Jangan-jangan kalian mantan pacar," ledek Albert dengan senyum jahilnya.
"Dulu belum boleh pacaran, Al. Belum seventeen," balas Rey menyeringai.
"Berarti sekarang udah boleh donk. Asyik! jadiin Rey. Besok kita makan-makan," ucapan amburadul Albert membuat wajah Rara memerah, sedangkan Rey langsung melempar tisu -entah bekas siapa- ke muka Albert.
Albert menghindarinya sambil tertawa, begitu juga Evan yang ikut menyumbang tawa.
Irena yang muncul dengan dua jusnya menatap heran.
"Ren, tau nggak? ternyata si Rara mantannya si Rey," ucap Albert di sela-sela tawanya, membuat jantung Irena berhenti berdetak.
"Mantan adik kelas, Ren," Rey memperjelas. Entah apa maksudnya.
Dengan setengah shock, Irena mencoba menenangkan dirinya. "Oh ya? asyik donk!" cuma itu yang keluar dari mulutnya sambil berusaha tersenyum ceria.
Setelah itu dia langsung menaruh segelas jus di depan Rey. "Thanks ojeg gratisnya, kak," ucapnya.
"Sama-sama, Ren. Lain kali nggak usah repot gini. Ucapan kakak lo tadi terlalu lebay," balas Rey merasa tidak enak.
"Iya, tenang aja, kak. Tadi sekalian bikin punya Rara kok," jawab Irena berusaha santai, kemudian membawa segelas jus lagi ke arah Rara.
Albert yang sudah senang karena dia pikir segelas lagi itu untuknya, langsung melongo hebat.
Gue nggak nampak?
"Sorry ya, Ra. Jusnya gue ganti alpukat, strawberrinya habis, berdoa aja yang minum jus lo tadi bakalan mules tiga hari tiga malam," suara Irena penuh dendam.
Evan hendak membalas ucapan adiknya, namun Albert protes lebih dulu, "Iren, jus gue mana?"
"Lo mau? kenapa nggak ngomong?" Irena balik tanya dengan wajah datar.
"Ck. Dasar nggak peka!" jawab Albert kesal.
"Ya udah sana bikin, dapurnya belom pindah kok!" Irena membalasnya enteng, membuat Albert makin geram.
♡♡♡
Setelah pelajaran Kimia selesai, Irena dan Rara langsung meluncur ke kantin. Tadi pagi keduanya tidak sarapan, cacing di dalam perut mereka sudah demo sejak Bu Ratna menjelaskan unsur-unsur Kimia.
"Tadi pagi lo dianter kak Rey lagi?" tanya Rara.
Irena mengangguk sambil mengunyah baksonya.
"Pensiun donk kak Evan sama kak Albert," Rara mengaduk es tehnya.
"Mereka lagi pada sibuk, tapi tetep aja sih kedua abang-abang itu yang jemput gue," balas Irena lalu meneguk es jeruknya.
"Padahal mereka udah lulus dari SMA ini dua tahun yang lalu, tapi masih aja suka keliaran di sekitar sini. Kadang gue pengen bebas dari kedua makhluk itu, tapi suliiit!" ungkap Irena yang merasa diperlakukan seperti anak kecil oleh Evan dan Albert. Bukan dimanjanya, tapi diaturnya.
"Beruntung donk lo punya mereka, hidup lo lebih aman."
"Lo pikir jaman perang?" Irena mengelap mulutnya dengan tisu.
"Jadi, gimana ceritanya lo ama kak Rey? Kemarin lo janji mau cerita kan?" Irena menagih hutang Rara, penasaran!
"Sebenarnya gue ama kak Rey nggak punya cerita, ngobrol aja baru sekali. Dua kali ama yang kemarin. Gue cuma ngerjain lo doank, biar penasaran," Rara tertawa puas, mata Irena membulat sempurna.
"Gue nggak percaya."
"Serius! waktu gue kelas 1 SMP, kak Rey udah kelas 3. Yang gue tau, kak Rey itu murid sibuk, boro-boro ngobrol, tegur sapa aja nggak pernah. Rombongan kak Rey tuh murid-murid penting di sekolah. Nah kalo gue, jauh........"
"Tapi lo bilang dia ingat nama lengkap lo."
"Gue juga nggak tau ingatannya setajam itu. Seingat gue sih, kami pernah satu kali ngobrol singkat setelah acara perpisahan kelas, itu pun karena gue mau balikin buku milik kakak kelas yang kebetulan satu kelas dengan kak Rey, berhubung kakak kelas yang gue cari nggak ada, ya gue titip aja ke kak Rey," jelas Rara.
"Ajaib, bisa jadi kalian jodoh."
Ups! Irena segera menutup mulutnya, ucapan bisa jadi sebuah doa. Jujur, dia tidak bermaksud mendoakan Rara berjodoh dengan Rey. Ini hanya kesalahan teknis pada mulutnya.
"Gue nggak mau mimpi, Ren. Sosok Reynald Dewantara terlalu perfect untuk Rara Florencia," ujar Rara nyengir.
Lagian gue belum bisa menggantikan sosok kakak lo di hati gue. Bisik hati Rara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rantai Cinta
Teen FictionMencoba mencintai dan berusaha melupakan dalam waktu bersamaan itu amat sangat sulit. Apalagi yang akan dicintai dan hendak dilupakan itu sosok yang selalu muncul di depan mata.