2. Pembatasan kebebasan

29 1 1
                                    

"Ra, jadi besok ngerjain tugasnya di rumah gue kan?" Irena memastikan, mereka berjalan menyusuri koridor menuju gerbang.

"Rumah gue aja deh," pinta Rara.

"Dari kemarin-kemarin kan udah di rumah lo terus, gue janji deh kali ini kak Evan dan Abet nggak bakal ganggu, kalo mereka berani beraksi, gue bakal hajar mereka!" Irena menunjukkan kepalan tangannya.

"Hmmm... gimana ya?" Rara pura-pura mikir, tapi dari hati yang paling dalam dia memang enggan ke rumah Irena.

Mereka kini sudah sampai di pintu gerbang.

"Nggak usah mikir, pokoknya iya!" Irena memaksa.

"Ntar gue kabarin deh, bis gue udah datang, bye Iren!"

Rara berlari kecil menuju halte yang berada di samping kanan sekolah, Irena hanya menarik nafas kesal.

Hufft! pasti ada sesuatu, biasanya Rara nggak pakai mikir kalo main ke rumah.

Setelah melihat Rara masuk ke dalam bis, Irena menyeberang menuju kedai pak Jono, tempat ojeg gratisannya menunggu.

Coba yang jemput kak Rey.

Irena segera menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dasar gila! Emang kak Rey siapa lo, Ren? Baru dianterin sekali aja udah PD!

Hati Irena terus berisik hingga masuk ke dalam kedai.

"Ayo, Bet. Pulang!" Ajak Irena kepada tukang ojegnya yang masih duduk santai main HP.

Sebelum cowok itu menjawab, pak Jono datang dengan seporsi mie ayam plus bakso.

"Pesanan siap, tuan Albert," ucapnya seraya menaruh mangkuk itu di meja Albert.

"Thank you, Mr Jono," balas Albert.

"Lo baru mau makan?" tanya Irena dengan tatapan kesal.

"Iya, emang kenapa?"

"Kenapa nggak dari tadi sih? Gue udah capek, pengen cepat nyampai rumah!"

Irena terpaksa duduk di sebelah Albert dengan sangat malas.

"Gue aja baru nyampai, dan perut gue laper banget!" Albert mengaduk mie ayam tanpa mempedulikan gadis di sebelahnya.

"Emang di kampus lo nggak ada yang jual makanan? miris!"

"Perut gue baru laper, daripada gue pingsan di jalan, lo mo tanggung jawab?"

"Hmmm..." jawab Irena singkat, malas melanjutkan debat.

"Lo nggak makan sekalian?" tanya Albert.

Irena menggeleng sambil mengutak-atik HPnya. Lima detik kemudian. "Lo yang bayarin ya," ucapnya tiba-tiba.

"Hmmm..." jawab Albert yang masih sibuk dengan makanannya.

"Pak Jono, jus strawberry mix melon, gula dikiiiit," teriak Irena, lalu kembali fokus ke game nya.

"Dasar, bau gratis aja, sumringah!" gerutu cowok blesteran Surabaya-Jerman itu.

Irena hanya mencibir, tak peduli tatapan Albert yang mengejeknya.

Albert adalah teman Evan sejak kecil, mereka satu kampus tapi beda jurusan. Dari kecil Irena tidak pernah mau memanggil Albert dengan sebutan kak, dia hanya menirukan Evan saat memanggil Albert.

Namun sayang, Irena kecil tidak bisa mengucapkan huruf R dengan benar, jadi dia memanggilnya Abet. Sampai sekarang pun gadis itu lebih nyaman memanggil Abet, walau dia sudah bisa mengucapkan huruf R dengan jelas.

"Rey udah mulai tinggal di rumah lo?" tanya Albert saat mangkok di depannya nyaris kosong.

Irena mengangguk sambil menyedot jusnya.

"Lo mesti hati-hati."

Irena hampir saja menyembur Albert dengan jusnya, untung dia segera menutup mulutnya degan tangan.

"Emang kak Rey kenapa?" tanyanya kemudian, wajah ovalnya nampak serius.

"Gue nggak ngomongin Rey, tapi ngomongin lo!"

Kening Irena keriting, tak mengerti. Albert menelan makanan yang terakhir, finish!

"Lo tuh cewek, kalo ada orang asing nginep ditempat lo, mesti hati-hati. Apalagi orang asing itu cowok."

"Tapi kak Rey kan teman kak Evan, sama kayak lo, bukan orang asing."

"Tapi tetap aja dia penghuni baru di rumah lo," Albert segera menghabiskan es tehnya.

"Tapi dia baik."

"Sekali lagi, gue bukan ngomongin Rey, tapi lo!"

"Emang gue kenapa?" Tanya Irena heran.

"Nggak nyadar? lo tuh be-go!"

Albert mengucapkan kata bego tepat di telinga Irena, pelan dan tajam, membuat gadis itu spontan menginjak kakinya dengan keras. "Nggak lucu!!" teriak Irena.

Albert hanya bisa meringis kesakitan.

Irena tak peduli dengan sekitar, yang pastinya banyak anak cewek yang sengaja makan lebih lama di tempat pak Jono agar bisa melihat mantan kakak kelas mereka yang cukup populer ini.

Perlu diketahui, abang-abang ojeg Irena - Albert dan Evan - termasuk golongan cowok populer di SMA Nusantara dua tahun yang lalu.

Beruntunglah kamu Irena, walau mereka kadang menyebalkan!

"Yach, gue lupa belum ambil duit, Ren. Pinjemin duit lo dulu, ntar gue ganti," Albert membolak balikkan dompetnya, lalu mencoba mencari rupiah di sakunya.

"Whatt?? Lo mo bego-in gue?" mata Irena melotot sempurna.

"Sumpah! Gue serius."

Irena cuma menarik nafas kesal. Dia tahu Albert bukan tipe orang yang perhitungan soal duit, secara dia anak tunggal dari pemilik perusahaan besar. Namun tingkah Albert sering membuatnya naik darah.

Irena mengambil selembar uang berwarna biru, lalu diserahkan kepada pak Jono.

"Niatnya minta traktir, malah kena palak ya," ledek pak Jono saat memberikan kembalian.

"Apes pak," jawab Irena dengan muka asam.

"Udahlah, lo pulang kan bonceng gue, anggap aja impas," ujar Albert seraya keluar dari kedai, Irena mengekor dengan kesal.

"Enak aja, nggak bisa! Tadi lo bilang kan pinjem, bayarnya harus dua..." ucapan Irena terhenti karena ada seseorang yang tiba-tiba muncul di depannya.

"Ren, makasih ya bukunya. Sorry kelamaan minjem," ucap cowok itu.

"Oh... nggak papa, santai aja kali. Pelajaran kimia masih hari jum'at kan?" balas Irena berusaha tersenyum.

"Iya sih, tapi takutnya lo mo belajar. Tadi mo balikin cuma lo nya..."

"Ayo pulang, Ren. Keburu hujan!" potong Albert, membuat Irena dan cowok di depannya menatap heran.

Sudah jelas-jelas matahari sangat terik, Albert bilang keburu hujan? Hujan dimana? Bogor?

Tanpa peduli tatapan aneh dari dua manusia di depannya, Albert  menyerahkan helm kepada Irena kemudian menyalakan mesin motornya.

"Sorry, Vin. Gue cabut duluan ya," pamit Irena lalu naik ke motor Albert.

Tanpa basa basi Albert langsung melajukan motornya.

Irena tahu maksud Albert, dia dilarang dekat dengan cowok itu.

"Penyakit ngaco lo makin parah!" Irena terpaksa teriak, agar Albert mendengar.

"Biarin!"

"Gue tahun ini sekelas ama Vino, kalo lo lupa!"

"Vino tuh adiknya preman, kalo lo nggak ingat!"

Mereka sempat debat di atas motor. Irena ingin melanjutkan perdebatan itu, tapi dia urungkan. Berdebat di atas motor Albert butuh tenaga cukup banyak.

Irena akui, hidupnya tak sebebas teman-temannya, yang bisa bergaul dengan siapa saja. Pulang sekolah bisa kemana saja.

Rantai CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang