"Tunggu sebentar, aku mau parkir motor." Kata Alva dari balik helmnya, kemudian dia mengambil helm putih dari tangan Carolyn dan mengaitkannya di motor.
"Iya, Kak." Carolyn lalu berdiri didepan ruang Tata Usaha, menunggu Alva yang sedang memarkir motornya.
"Olyn, Olyn!" Seru seorang gadis dengan rambut hitam megarnya yang tampak seperti semak, "Sini deh!" Panggil gadis bernama Febriane itu kearah mading yang terpajang didepan ruang guru.
"Apa, Ne?" Tanya Carolyn begitu menghampiri Febri.
"Nilai Bahasa Inggrismu tinggi loh! Nilainya samaan kaya Laurentsia. Selamet yah!"
"Beneran?" Tanya Carolyn masih setengah tidak percaya.
"Iya! Kamu liat saja disini." Gadis yang disebelah Febriane yang menjawab. Gadis sipit dengan kulit putihnya —namanya Abigail— itu kemudian menunjuk ke kertas yang berisi pengumuman nilai kelas 10.
Dan benar saja, nilai Bahasa Inggrisnya 98. Sebanding dengan Laurentsia yang merupakan siswi paling pintar Bahasa Inggris di sekolah.
"Cie, yang nilainya bagus..." Goda sebuah suara baritone yang sejak kemarin selalu menghantui pikiran Carolyn.
"Eh, Kak Alva? Udah parkir motornya?"
"Udah. Nilai Bahasa Inggris kamu bagus, Dek. Selamet yah."
"Ehm, iya Kak, makasih." Dengan rona malu-malu, Carolyn menunduk.
Alva terkekeh gemas, "Udah yuk. Kita kekelas." Lanjutnya kemudian menggenggam tangan kanan Carolyn dan membawanya ke ruang ujian mereka. Tentu saja dengan tatapan menyelidik dari semua orang yang melihat mereka.
Dan pergi meninggalkan dua makhluk —Febriane dan Abigail— yang sedang melongo melihat kedekatan mereka. Oh, akan ada berita bagus yang menggemparkan di sekolah mereka.
Prince Charming and Enchanting Princess.
Perfect isn't it?
Tapi disetiap kebahagiaan pasti akan ada 'pengganggu' kecilnya kan?
Seperti contohnya seorang gadis berambut ombak dengan mata coklat yang sedang memandang Alva dan Carolyn yang sedang bergandengan tangan dengan penuh dendam.
Atau seperti seorang pemuda bermata hitam dan rambut spike emonya yang sedang melakukan hal yang sama dari kejauhan.
.
"TEME!!!! Apa yang kau lakukan?!" Seru seorang laki-laki berambut hitam semburat merah dengan gaya urakannya. Laki laki yang kita kenal sebagai Mario —sahabat Alva— itu memberikan tatapan menyelidik kearah Alva. Lebih tepatnya kearah tangan Alva yang sedang menggenggam tangan mungil Carolyn.
"Kalian berdua?" Tunjuk Mario ke dua sejoli yang sedang merona itu.
"Hn, berisik Dobe." Kemudian Alva —tanpa melepas genggaman tangannya— berlalu ke tempat duduknya dan membiarkan Carolyn duduk di tempatnya.
Dengan canggung, Carolyn melepas genggaman tangan Alva, "Emm, makasih ya Kak, udah dianterin tadi."
"Hn." Jawab Alva. Dia sendiri tidak mengerti kenapa ketika Carolyn melepaskan tangannya, dia merasa enggan. Karena ketika mereka berpegangan tangan tadi, rasanya begitu spesial. Seolah tangan mungil itulah pasangan tangan besar miliknya. Seolah memang tangan mereka diciptakan berpasangan. Rasanya begitu biasa, karena memang seharusnya begitu.
Alva memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan rona merah dipipi begitui melihat mata coklat Carolyn yang menatapnya. Mata itu seperti anak kecil, terlalu polos dan imut.