"Aku pulang."
"Oh, anak gadis Mama udah pulang. Gimana sayang sekolahnya hari ini?"
Carolyn mengangguk, "Biasa-biasa aja kok, Mam.." Jawabnya, "Aku mau mandi dulu yah, Ma. Abis itu aku mau makan masakkan Mama yang paling enak di dunia." Lanjut Carolyn disertai senyuman palsunya. Memang senyuman manis yang saat ini melekat diwajahnya semata-mata hanyalah senyuman untuk menutupi kegalauan hatinya karena Alva. Carolyn tidak mau Mamanya mengetahui kesedihannya sekarang.
Tidak sekarang.
Tidak ketika Mama dan Papanya baru dua hari yang lalu mengatakan Alva adalah laki-laki yang baik.
Tidak.
Tapi perasaan seorang Ibu tidak bisa dibohongi oleh anaknya sendiri kan? Ayolah, Ibu adalah wanita yang membawa anaknya selama sembilan bulan sepuluh hari dengan bahagia, Ibu melahirkan anaknya, Ibu merawat anaknya, Ibu pun mengenali anaknya.
Jadi walau semanis apapun senyuman Carolyn, tetap tidak bisa mencegah Ibunya mengikuti langkah sang Putri menuju kamar. Hanya untuk memastikan keadaan putrinya.
"Kamu yakin kamu baik-baik saja, Dear? Bukan itu yang Mama liat." Bujuk Ny. Wijaya begitu anaknya sudah duduk dipinggir tempat tidurnya.
"Aku gak papa, Mah. Sungguh." Carolyn mencoba meyakinkan.
"Bukan itu yang Mama liat, Sayang."
Carolyn menunduk dalam, kemudian menggeleng, "Aku tidak...semuanya baik-baik, Mah."
"Ceritakan." Kata Sienna sambil mengusap punggung mungil putrinya dengan tangan lembutnya. Gerakan ini efektif untuk menenangkan siapapun ketika kita berbicara dengan seseorang yang sedang bingung.
"Aku—hanya bingung," Carolyn menghela nafasnya, "Jika memang semua ini hanya sebatas teman lalu apa arti semua itu?" Lirih Carolyn nyaris terisak. Dia membenamkan wajahnya dilekukan leher Ibunya.
"Kau tahu?" Sienna melanjutkan mengelus punggung putrinya berulang-ulang sambil berkata, "Biasanya seorang pemuda —pemuda remaja pada umumnya— bingung untuk mengutarakan perasaan mereka sendiri."
Carolyn tampak menatap kedua bola mata milik Ibunya. Mendengarkan dengan seksama.
"Maksud Mama, tidak semua laki-laki bisa tampak begitu mudah mengekspresikan perasaannya sendiri. Terkadang itulah tugas wanita, untuk menjadi lebih peka dan pengertian. Peka terhadap tatapannya, perkataannya, dan bahasa tubuhnya pada kita para wanita. Ayahmu juga begitu, Dear. Dan semenjak pertama aku melihat Alva, aku sangat yakin dia tertarik padamu. Itu terlihat jelas seolah dia menempelkan tulisan 'AKU SUKA CAROLYN' besar-besar dijidatnya." Jelas Sienna terkekeh. Penjabarannya itu membuat putri kandung tunggal satu-satunya itu merona parah, "Tatap matanya dan kau akan mengerti. Orang bilang mata menunjukkan perasaan orang kan?"
Sienna kemudian bangkit dari tempatnya duduk kemudian mengusap puncak kepala anaknya dan mengecup jidat lebar putrinya itu.
"Sup tortilla sudah siap sedari tadi. Lebih baik kau mandi dan turun makan malam, Papa mungkin sebentar lagi pulang. Oke, Dear?"
Carolyn hanya mengangguk dan tersenyum. Kali ini dengan senyuman cerianya seperti biasa.
.
"...doa yang tidak sempurna ini kami tutup dengan Salam Maria. Salam Maria penuh rahmat Tuhan besertamu, terpujilah Engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu Yesus. Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati, Amin. Santa Maria della Strada, doakanlah kami. Dalam nama Bapak, Putra dan Roh Kudus. Amin."
Alva tampak menutup doa pulang yang hari ini dipimpinnya. Seluruh kelas menutup doa dengan membuat tanda salib kemudian mulai memasukkan alat tulis mereka. Pak Yanto selaku pengawas ujian terakhir pun merapikan kertas ulangan dan lembar jawaban semua peserta diruangan itu.