Selamat Malam Jakarta

86 13 5
                                    

Malam ini. Dengan sejuta bintang menerangi langit malam, membuat hati tenang kala mata memandangnya.  Berjuta anak manusia berlomba-lomba untuk menghabiskan waktu malamnya bersama orang-orang tersayang di luar rumah sambil menatap hamparan langit akhir pekan yang sangat cerah ditemani dengan makanan ringan di tangan mereka. Beruntung bagi mereka yang bisa merasakannya.

Tak seperti seorang wanita yang duduk termenung di atas kasur. Jutaan bintang bukan apa-apa baginya. Karena nyatanya ia tidak bisa menikmati itu semua dengan orang-orang tersayang itu. Ia menatap selang infus yang menembus kulitnya hingga terasa sakit.  Rumah sakit. Kata itu terus memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Rumah sakit menjadikan tempat tidurnya selama seminggu ini. Ia tidak tahu, mengapa ia bisa berlama-lama di sini. Ia merasa sehat, ia tidak sakit. Namun ibunya dan dokter bersikeras untuk merawatnya di sini.

Ada binar bahagia ketika maniknya menangkap sosok lelaki muncul dari balik pintu. Mulutnya mengembangkan senyum yang sedari tadi bahkan tidak terlihat apa pun di wajahnya. Terdengar jerit kebahagiaan dari mulutnya.

“Kamu dateng Daf?” Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya tetap melukis senyum indah.

Tidak ada jawaban, atau sedikit pun suara balasan yang terdengar. Wanita itu masih menikmati keheningan yang dicipta oleh sang lelaki dalam penglihatannya itu.

“Kenapa mematung di situ Daf? Sini mendekat sama aku.” Wanita itu bersuara lagi. Namun jawabannya sama, hanya ada kebisuan di ruang yang hanya ada dirinya dan sosok di depannya.

Jika ada yang tahu caranya bertahan dalam situasi ini coba beritahu Laura. Dia bukan tipe orang yang suka didiamkan seperti ini, terlebih dengan orang yang seminggu ini dinantinya. Sosok yang ia rindukan muncul di hadapannya tanpa mau menjawab pertanyaan ataupun mendekat dengannya. Ia sangat senang ketika melihatnya, namun ia sedih akan perlakuan yang diciptakannya. Haruskah ia berteriak lancang bahwa ia merindukannya?

“Daf, kamu kenapa? Kok diem aja? Mukanya juga pucet gitu. Kamu sakit?” Gadis itu bergerak sedikit dari posisi sebelumnya. Supaya ada sedikit suara terdengar.

“Aku kangen banget sama kamu Daf. Aku seneng kamu dateng, tapi kenapa kamu diem aja?” Ada nada kesal tertahan di sana. “Aku salah apa Daf? Kamu kenapa? Udah nggak  inget sama aku? Atau bahkan udah nggak sayang sama aku?”

Berbagai kata telah keluar dari mulutnya. Namun, sosok yang ada di matanya masih bergeming. Salahkah jika ia marah?

Dengan hati-hati ia turun dari kasur sambil membawa tiang infusnya itu. Ia mendekat ke arah Dafa, laki-laki yang sedari tadi menjadi lawan bicaranya.

“Kamu pucet Daf. Kemana wajah ganteng dan ceria kamu? Kamu sedih banget kayaknya,” ucapnya saat berhasil berjalan mendekat.

Waktu yang ditunggu-tunggu datang. Dafa mengeluarkan senyumnya di bibir pucat itu walau hanya seulas. Laura sangat bahagia melihatnya. Ia berusaha menahan jerit bahagianya.

“Kamu kemana aja? Aku di sini udah seminggu, padahal kamu lihat kan aku baik-baik aja. Aneh banget ya, sampai harus di infus gini.”

Dugaaan kalau Dafa akan menjawabnya ternyata salah. Dafa kembali berekspresi seperti tadi. Datar dengan tatapan kosongnya.

“Kalau kamu diem aja aku marah nih. Uhm ... atau aku peluk nih kamu.” Laura menggoda.

Tidak ada jawaban yang terdengar. Itu tandanya Dafa bersedia untuk dipeluknya. Laura berjalan mendekat lagi, bersiap untuk memeluk sosok di hadapannya. Namun ... kosong.

Pada akhirnya ia hanya mendekap tubuhnya sendiri. Laura terpatung di tempatnya. Butuh beberapa waktu untuk dapat mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Tadi siapa? Mengapa tiba-tiba Dafa menghilang?

Laura ambruk. Bulir-bulir air mata membasahi pipinya perlahan. Rasa rindu yang begitu menyeruak pada tambatan hatinya membuat dirinya tak sadar. Dafa yang ia lihat tadi hanya sesosok bayangan ilusi yang tercipta akibat rindunya itu. Laura tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdenyut, terasa sakit. Lebih sakit dari jarum infus yang menusuk kulitnya.

“KAMU DI MANA DAF? AKU KANGEN SAMA KAMU!” Dengan tenaga yang seadanya ia mencoba berteriak. Ia menangis sejadi-jadinya.

“Kamu kenapa Ra?” Sosok wanita paruh baya muncul mendekat ke arah Laura. Betapa kaget dirinya melihat putrinya duduk terisak di lantai.

“Dafa kemana Bu? Tadi Laura liat dia di sini Bu,” isak Laura. Mendengar kalimat anaknya, lantas Ibu langsung memeluk tubuh Laura.

“Istighfar Ra. Dafa udah pergi seminggu yang lalu. Kamu harus terima Ra, ikhlaskan dia biar tenang di alam sana.”

“Kapan Bu? Nggak mungkin Bu, nggak mungkin.”

“Berkali-kali kamu sudah nanya Ra. Dia pergi saat berhasil menyelamatkan kamu dari truk yang hampir menabrakmu. Sadarlah Ra, Ibu sedih liat kamu kayak gini, Ibu mau kamu keluar dari sini secepatnya.” Ibu mengelus rambut panjang Laura, menenangkan isakan putrinya.

Laura semakin terisak dalam pelukan ibunya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Dafa sudah tidak ada. Dalam dada, sesak terus menjalar. Begitu sakit rasanya.

Rindu yang akan terobati kembali ditorehkan oleh fakta pahit. Haruskah ia menerima kepergian Dafa dan menghapus jejak rindunya?

Selamat malam kota Jakarta yang penuh dengan ingar-bingar dan kenyataan-kenyataan menyayat hati.

Sabtu, 03 Desember 2016

••••••••••••

Hai! Tiba-tiba kangen nulis cerita yang pendek-pendek gini masa. Semoga suka!

Semoga sukses buat yang Senin UAS atau yang sudah menjalankan UAS. Mari berjuang 💪😊

Terima kasih.

Selamat Malam JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang