Tidak terasa sudah setahun aku menjalani hubungan dengannya. Setahun belakangan ini aku dan Rafa berpacaran diam – diam dibelakang kedua orang tuanya. Entah apa aku merasa setiap orang kaya selalu saja melarang keturunannya untuk berteman dan menjalin hubungan dengan orang yang berada dikalangan bawah dan tidak sesuai dengan mereka. Aku berada di kalangan bawah dan Rafa di atas. Sudah berulang kali aku mengatakan padanya bahwa aku berbeda dengannya, tetapi dia selalu membantah pernyataanku itu. Dia selalu mengatakan bahwa dimata Tuhan tidak ada yang beda, semua sama. Benar juga pikirku. Itu sebabnya aku terus berhubungan dengannya. Sudah beberapa kali juga Ibunya memberi peringatan pada ku agar menjauhi anaknya dan lagi – lagi Rafa melarangku untuk mengikuti perintah Ibunya. Demi Tuhan, aku sayang sekali dengan Rafa. Sampai detik ini, diliburan kali ini pun aku masih dan ingin terus menyayanginya.
“Kamu rencana kuliah dimana?” tanyanya setelah menghancurkan lamunanku tentangnya.
“Aku enggak kuliah. Males.” Jawabku sambil memakan Chese burger ku.
“Kok gitu? Kuliah ya, bareng aku.” Katanya. Ini nih yang paling aku suka dari Rafa. Dia selalu mengelus lembut rambutku. Membuatku seakan anak kecil yang ingin terus dimanjain.
“Sebenernya enggak males juga sih. Aku cuma enggak pengen kuliah aja. Aku mau buka usaha, bisnis gitu. Dan kepikiran juga buat jadi designer” Ucapku padanya. Sambil menatapnya lekat, “Kamu kuliah aja Raf. Kamu kan pengen banget jadi mahasiswa.”
“Kamu mau ngapain aku dukung asal itu baik buat kamu. Tapi jadi seorang designer kan harus punya pendidikan yang cukup,” ujar Rafa.
“Di dunia ini, ada orang yang terlahir hebat dan tinggal mengoptimalkan potensinya. Dan ada yang terlahir biasa – biasa saja dan harus mengasah kemampuannya hingga ia menjadi sejajar dengan orang hebat itu. Dan aku rasa, aku ingin seperti orang yang terlahir hebat Raf. Enggak mau pusing – pusing buat dapetin gelar sarjana, toh aku juga udah merasa bisa mengoptimalkan kemampuan aku.” Jelasku panjang lebar.
“Jadi ceritanya kamu sombong nih?” aku tertawa geli melihat raut wajah jail Rafa. Sambil mencubit pipiku pelan, “Iya deh Mely-ku. Aku tahu kamu bisa kok. Ntar kalau kamu udah buka usaha buatin aku baju ya.” Pinta Rafa padaku. Terlihat konyol sih. Dia kan orang berada. Tinggal beli yang ia inginkan dan dimanapun bisa. Mengapa harus minta dibuatkan baju?
“Iya deh. Udah malem nih. Tidur ya, besok ajak aku jalan – jalan keliling Singapore. Night Raf.” Ucapku dan beranjak masuk kedalam kamar. Di ruangan ini hanya ada satu kamar jadi Rafa tidur di sofa dan aku tidur di kamar. Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Rafa. Sampai – sampai ia mengajakku ke Singapore hanya karena ingin membahagiakan ku. Sudah jelas – jelas ia dilarang menjalin hubungan denganku oleh orang tuanya, tetapi kenapa ia tetap lakukan ini? Yang jelas, katanya selama tindakannya bener dan pilihannya (maksudnya itu aku) bener ia akan pertahanin. Katanya lagi, Rafa enggak suka sama pemikiran keluarganya yang harus membeda – bedakan status sosial.
***
Pagi ini Rafa sudah menungguku untuk breakfast dengannya di balkon. Kaget meilhat Raffa yang sudah menyiapkan makanan untukku. Kulihat ada pancake chocolate di meja kecil. Susu hangat dan beberapa buah. Dan yang membuatku semangat pagi ini adalah penampilan Rafa yang berubah. Ia memangkas rambutnya. Dengan kaos polo dan celana ponggol yang ia kenakan membuat segar mataku. Ditambah wajahnya yang membuat melting semua wanita.
“Kamu pangkas rambut, Raf? Kapan?” tanya ku sambil duduk dikursi.
“Cakep, kan? Tadi pagi – pagi hehe.” Jawabnya dengan senyum sumringah.
Kami pun makan berdua. Sekali – kali Rafa menyulangiku makan. Setelah membantu Rafa bersih – bersih kami pun bersiap – siap untuk pergi menyelesuri tempat – tempat wisata. Setelah sampai di beberapa toko yang menjual banyak souvenir tiba – tiba saja ada yang mencegat jalan kami berdua.