"Ri, kita jalan yuk" ucap kak Eza yg berdiri di depan pintu kamarku
"Kemana?"
"Terserah kemana aja"
"Udah izin sama papa?"
"Hehehe... kamu ya yang ngomong sama papa, kami gak berani"
"Aku ganti baju dulu, kalian tunggu aja di luar"Semua perkataan kak Eza cuma ku jawab dengan nada datar bahkan aku tidak menolehkan kepalaku ke arahnya aku cuma meliriknya, sebenarnya aku sama sekali tidak tertarik dengan ajakannya karena aku sudah tau pasti apa maksud dari ajakannya. Gak berubah.
Setelah mengganti pakaian, aku mengajak mereka bertiga turun ke ruang keluarga untuk meminta izin kepada papa. Di sana papa sedang duduk membaca koran dan tv menyala menayangkan berita.
"Pa"
"Kenapa?" papa menjawab dan tetap fokus membaca korannya
"Ri sama kak eza, kak caca, dan ecy mau jalan"
"Mau jalan kemana?"
"Ke pantai *****"
"Jangan pulang kemaleman trus di jalan hati2"
"Iya pa"
Papa menutup korannya dan aku pun bersalaman sama papa, beliau mengeluarkan dompet dan memberiku sekitar 12 lembar uang pecahan 100an. Lalu saudara2ku menyalami papa dan mereka masing2 di beri 4 lembar uang pecahan 100an. Kami selalu di perlakukan berbeda jika menyangkut masalah uang. Perbedaan yang terlalu mencolok.Lalu kami pergi.
Aku menggunakan motorku, kak eza dengan motornya, kak caca dan ecy diantar supir menggunakan mobil papa. Tujuan kami bukan ke pantai tapi kami menuju mall. Aku sampai duluan. Aku menunggu mereka di dekat pintu masuk mall. Tak lama kak eza datang. Dan yang terakhir kak caca dan ecy.
"Kemana?" Aku bertanya masih dengan nada datar
"Kita ke resto yang biasa aja, makan, ini udah jam 11" saran kak caca
Kami pun berjalan menuju restoran langganan kami di mall itu. Kami memilih tempat di lantai 2 resto, di dekat dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan jalan raya. Setelah memesan makanan mereka sibuk dengan hp masing2, karena aku malas menyalakan hp jadi aku hanya menatap keramaian lalu lintas di luar sana. Aku tau makan di resto ini hanya basa basi mereka. Bosan. Selalu seperti ini. Setelah pelayan mengantarkan pesanan kami, kami makan dengan hening. Tak ada yang berniat memulai pembicaraan. Ketika makanan di piring tinggal setengah, kak eza mulai membahas sesuatu yang gak pernah aku suka"Ri, enak ya jadi kamu"
Aku hanya menatapnya sambil menaikkan sebelah alis ku
"Klo mau jalan langsung di kasih izin, klo minta uang langsung dikasih tanpa di tanya2, klo gak ikut makan bareng sama papa atau mama gak di marahin. Pokoknya enak jadi kamu. Kami jadi iri sama kamu"
"Iri? Hahaha" aku bertawa miris mendengar penuturannya
"Iya, iri sama kamu"
"Kenapa kalian harus iri sama aku??? Kenapa harus iri sama aku yang dulu telat masuk sd karena papa mama lupa klo umur aku udah harus masuk sd. Kenapa harus iri sama aku yang bahkan akta kelahiran asliku gak tau letaknya di mana, cuma ada yang fotocopy. Kenapa harus iri sama aku yang ulang tahun pun kalian gak ada yang ingat. Kenapa harus iri sama aku yang setiap ada acara sekolah yang harusnya dihadiri orang tua tapi papa mama gak pernah datang. Kenapa harus iri sama aku yang bahkan foto perpisahan selalu sendiri tanpa mama papa. Kenapa harus iri sama aku yang perpisahan gak pernah di dampingi papa atau pun mama. Kenapa harus iri sama aku yang bahkan selalu mengambil rapot sendiri. Kenapa harus iri sama aku yang rapotnya gak pernah di baca papa mama, cuma di tanda tangani lalu di tutup lagi. Kenapa harus iri sama aku yang gak pernah dapat oleh2 apa2 dari papa sama mama. Kenapa harus iri sama aku yang bahkan setiap masuk rumah sakit cuma dijaga sama bi inah. Kenapa harus iri sama aku yang pernah harus pulang jalan kaki karena gak ada yang ingat klo aku gak ada yang jemput di sekolah dan gak ada angkutan umum dari sana sampai ke rumah. Harusnya kalian bersyukur gak mengalami apa yang aku alami, untuk apa iri klo hidup kalian baik2 aja" aku membalas kata2nya dangan nada santai dan mata yang tetap fokus ke makanan. Aku gak mau melihat ekspresi yang terpasang di wajah mereka karena aku tau mereka gak akan pernah menerima omonganku. Aku gak pernah suka pembahasan yang mereka bahas setiap kami cuma berempat. Aku kembali melanjutkan ucapanku
"Klo kalian iri dengan ku harusnya kalian rubah sikap kalian. Kak eza jangan bikin malu papa dengan merokok, main judi. Umurmu itu sudah berapa? Kerja aja gak ada yang beres, masih nadah2 tangan sama papa. Makanya papa gak percaya sama kamu kak" aku berucap sambil menatap kak eza
"Kak caca juga jangan suka gonta ganti pacar, apalagi pacaran sama anak temen papa. Ya jelas aja papa malu dan gak percaya sama kamu" sekarang aku menolehkan kepala kesebelah untuk menatap kak caca
"Trus kamu ecy coba jangan menghilang setiap ada acara keluarga. Papa itu malu setiap ada yang nanya kamu kok gak kelihatan papa gak bisa jawab, gara2 kamu pergi gak pamit" aku menunjuk adikku dengan santai
"Harusnya kalian sadar, nakal boleh asalkan tau keadaan. Jangan seenaknya sendiri. Aku juga nakal tapi aku bisa memposisikan diri agar sikap nakalku gak bikin malu keluarga. Punya otak itu di pakai jangan cuma dijadiin pajangan"
Mereka terdiam, tak ada yang melanjutkan makan. Dan tak ada yang berniat membalas kata2ku
"Pergilah. Aku tau kalian mau jalan tapi takut izin sama papa makanya mengajakku. Seperti biasa aku yang akan bayar makanan ini" aku memecah keheningan yang tercipta
Tanpa mengucapkan apa2 mereka pergi. Aku hanya dapat tersenyum miris mengingat nasibku yang gak terlalu bagus ini. Aku masih duduk tak berniat untuk pergi. Masih merenungkan mengapa banyak orang iri dengan keadaanku.
Orang yang bodoh akan kalah dengan orang yang pintar
Orang yang pintar akan kalah dengan orang yang rajin
Tapi orang rajin akan kalah dengan orang yang beruntungDan aku hanya orang yang sedikit lebih pintar dari orang2 sekitarku, yang kebetulan juga mempunyai sedikit keberuntungan lebih dari pada orang2 disekitarku
Apakah itu salah? Kan bukan aku yang menentukan beruntung tidaknya seseorang. Untuk apa iri klo nyatanya hidupmu baik2 saja
Aku bahkan belum pernah berpikir untuk merasa iri terhadap mereka. Selama ini aku hanya menertawakan keberuntungan dan nasib burukku. Yang ada dipikiran ku sampai saat ini adalah "kemana lagi aku harus mencari teman yang gak memanfaatkan aku? Kemana lagi mencari orang yang bisa perhatian sama aku dengan tulus tanpa maksud terselubung? Dimana aku bisa mencari orang yang dapat aku percaya?"
Aku hanya dapat mengela nafas berat. Lalu memanggil pelayan dan meminta bill. Setelah membayar tagihan aku keluar dari resto tersebut. Mungkin ke pantai bukan ide yang buruk. Aku ingin menyegarkan otak, lagi pula aku jadi gak bohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isi Hati
PoetrySebuah curahan hati biasa Bukan hal yang istimewa Hanya menuangkan apa yang di dengar, di lihat, di rasakan, dan di pikirkaan Kalau kalian mau baca silahkan Kalau kalian mau komen jg silahkan Kalau kalian g suka itu hak kalian Yang penting saling me...