[review]
Tuhan, apakah udah benar yang aku lakukan? Inikah takdir yang kau berikan untukku? Jika iya, biarkan semua berjalan seperti yang semestinya.
*
Hari Selasa, berarti sudah dua hari setelah insiden air panas itu. Tanganku masih sedikit nyeri, tapi sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya.
"Bi, bisa kamu jelaskan pada Mama?" tagih Mama sembari duduk di atas ranjangku.
Ya Tuhan, potong aja kepalaku sekarang.
Selama dua hari ini, belum ada alasan logis apapun yang terlintas di benakku. Dan dengan tiba-tiba, Mama menagihnya sekarang. Tamat sudah.
"Hmn..." Aku berusaha berpikir keras. Tanganku berdenyut seiring dengan denyutan di kepalaku.
"Jadi, Rafa itu atasannya Bi. Baru kenal nggak sampai 1 atau 2 bulan memang. Tapi kami sama-sama nyaman. Ya udah, jalanin aja."
Muntahan dari mulutku kuyakini akan keluar sebentar lagi. Nyaman? Demi apapun, yang ada malah aku gondok dan panas setiap melihat tingkah diktatornya itu.
"Kamu yakin sama keputusan kamu?" tanya Mama.
"Masih juga baru, Ma."
"Dia udah berbuntut loh! Kamu yakin bisa sayang sama Lili seperti nanti kamu sayang sama anak kamu sendiri?" tanya Mama cemas.
Tentu saja aku bisa. Jangan meremehkan seorang Tabitha Hardiwinata. "Tentu bisa, Ma. Aku bakal tetap sayang sama dia walaupun nggak ada hubungan darah di antara kami."
Sudah jelas bukan, seberapa aku menyayangi Lili. Aku ingin si Manis itu juga bisa merasakan kehadiran dan kasih sayang seorang Ibu.
"Kalau gitu, Mama serahin ke kamu semuanya. Ini semua keputusan kamu, yang penting, jangan nyesel di kemudian hari karena kamu nggak bisa menuhin apa yang kamu bilang tadi. Mengerti?"
"Iya, Nyonya." Aku mengangguk kecil sambil terkikik.
*
Belum ada panggilan dari Rafa yang menyuruhku masuk kantor. Sebenarnya, mau apa dia? Tapi enak juga, sih. Nggak masuk kantor tapi gaji jalan terus.
Tapi sebenarnya aku bosan sekali di kamar. Tanpa melakukan apapun. Setidaknya, kalau di kantor, aku bisa melakukan sedikit pekerjaan.
Dengan tangan yang masih diperban, aku nekat menukar bajuku dengan pakaian kerja. Pilihanku jatuh pada blus abu-abu dan pencil skirt bewarna hitam serta heels yang senada dengan warna rokku.
"Loh? Udah mau kerja? Rafa udah suruh masuk, ya?" tanya Mama yang sedang duduk di meja makan sambil mengupas bawang.
"Belum, sih. Males aja di rumah. Bi bosen banget, nih. Mama nggak ke rumah sakit?" tanyaku sembari mengambil botol air mineral dari kulkas.
"Belum. Nanti siang Mama baru ke rumah sakit, ada pasien yang mau operasi gigi bungsu."
"Oh oke. Bi pergi dulu, ya."
"Ya sudah. Hati-hati di jalan. Masih bisa nyetir 'kan? Atau mau Papa yang antarin?" tanya Papa setelah menyesap kopi hitam pekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
23 VS 38 (sebagian part telah dihapus)
Chick-LitMenjadi asisten pribadi Rafael Gumilar-manusia setengah singa nggak semudah yang kupikirkan. Setiap hari, aku harus menahan emosi hingga rasanya ingin mencabik jantung seseorang untuk dikunyah karena terlalu kesal dengan sikap pria itu. Parahnya la...