Elena POV
Kami berjabat tangan. Oh Tuhan. Aku sangat grogi. Tanganku sedikit gemetar. Mengapa pria yang bernama Alvaro ini sangat menawan? Hahaha. Setelah berjabat tangan, aku melihat pemandangan di luar lewat jendela.
"Kau kuliah mengambil jurusan apa?", dia melanjutkan percakapan lagi.
"Fakultas olahraga dan kesehatan", jawabku dengan mantap.Alvaro sedikit melongo. Hei, ada apa ini?
"Aku tidak percaya. Perempuan berperawakan model sepertimu mengambil fakultas olahraga dan kesehatan. Ku kira kau mengambil fakultas mode atau sejenisnya", ujarnya dengan nada heran.
"Ah, kau ini bisa saja. Entah mengapa aku tidak suka yang berbau mode. Terlalu banyak aturan dalam mode sih. Dari dulu aku suka olahraga. Terutama sepak bola dan basket", jelasku panjang lebar.
"Hah?! Sepak bola dan basket?! Serius?", dia terlihat sangat kaget.Aku tertawa lagi. Apa wanita yang menyukai sepak bola dan basket terlihat aneh? Tidak juga kan.
"Serius. Apa aku terlihat main-main?", aku masih tertawa.
Alvaro pun juga ikut tertawa bersamaku.
"Hmm... Boleh juga. Kalau boleh tau, tim favoritmu di sepak bola dan basket apa?", tanyanya.
"Tim sepak bola Schalke. Tim basket Golden State Warriors", aku menjawab dengan percaya diri.
"Keren", Alvaro bertepuk tangan sambil menganggukkan kepala.Aku baru menyadari kalau sebentar lagi bus akan berhenti di halte dekat sekolahku.
"Al, aku sudah sampai tempat tujuanku", aku memberitahunya.
"Okay. Tapi bisakah kita bertukar nomor telepon?", dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya.Aku menyetujui permintaannya. Setelah bertukar nomor telepon, aku berpamitan dan turun di halte dekat kampus ku. Ku lirik jam tangan. Jam 08.20. APA?!! 10 menit lagi dosenku masuk!
Aku langsung berlari ke gedung kampus. Baru teringat kalau jam pertama adalah kelas Mr. Maxwell. Dia adalah dosen yang paling menakutkan. Pasti dia akan mengomel jika aku terlambat.Aku berlari melewati lorong tanpa mempedulikan sekeliling. Tiba-tiba... Bruak!!
Aku menabrak seorang pria yang barusan keluar dari kelasnya.
"Maaf maaf. Aku tidak sengaja. Aku hampir terlambat", aku membereskan buku-bukuku yang jatuh berserakan tanpa melihat wajahnya. Aku sangat ketakutan lagi sekarang.
"Tidak masalah. Namanya juga nyaris terlambat", dia berjongkok dan membantuku.
"Terima kasih ya. Sekali lagi minta maaf", aku mengucapkan terima kasih masih dengan menunduk.Lalu aku melanjutkan perjalanan ke kelasku dengan tetap berlari. Sesampainya di kelas, aku membuka tuas pintunya. Sialan, di kunci. Pasti pelajaran sudah di mulai. Ini sudah jam 08.35. Ku ketuk pintunya. Peluh sudah memenuhi wajahku.
Seseorang membuka pintunya dan...
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.