6. Masa Lalu Tissa 1

48.5K 2.3K 12
                                    

Pagi ini aku merasa tidak enak badan sekali. Bahkan rasanya nasi goreng yang sedang kubuat ini hambar, ah aku benar-benar tak selera makan. Kenapa ya, padahal semalam aku tidur tidak larut malam.

"Kenapa melamun? Nanti gosong nasi gorengnya."

Suara Raffa membuatku menoleh. Aku tersenyum tipis lalu fokus pada masakanku.

"Mas mau kopi? Atau teh?" tanyaku seraya menaruh nasi goreng di piring.

"Teh saja."

Aku menaruh dua sendok kecil gula, takaran kesukaannya sendiri. Dia bilang dia tak menyukai makanan dan minuman yang terlalu manis, sama sepertiku yang lebih suka pahit dan asin. Aku sama sekali benci hal-hal manis.

Raffa makan dengan lahap. Aku memperhatikannya dengan saksama, sedikit tersenyum karena dia makan seperti anak kecil.

"Pelan-pelan, Mas." Aku menyodorkan air putih padanya.

"Kamu nggak makan?" tanyanya melihat piringku yang masih utuh.

"Aku sedang tidak nafsu."

"Kenapa? Muka kamu kelihatan pucat. Kamu sakit?" Raffa bergerak maju dan tangannya menempel di keningku.

"Sepertinya kamu memang sakit. Lebih baik kamu nggak usah kerja dulu hari ini. Istirahatlah dan minum obat yang ada di kamar, di nakasku."

Aku tersenyum. Senangnya punya suami dokter, jadi tak perlu repot-repot pergi ke rumah sakit atau klinik segala. Raffa berdiri dan duduk disebelahku. Memeriksa denyut nadiku.

"Nggak apa-apa, kamu hanya kelelahan dan sedikit demam."

Padahal aku tak bicara apa-apa dari tadi dan dia malah bicara seakan menjawab pertanyaanku.

"Aku berangkat dulu ya. Kamu istirahatlah."

Raffa mengecup dahiku, membuat senyumku semakin lebar. Akhir-akhir ini aku sering merasa gelenyar aneh di dadaku. Perutku seperti penuh kupu-kupu yang berterbangan saat Raffa bersikap romantis padaku. Tapi aku belum yakin dengan diriku sendiri.

-

Sore ini aku pergi ke mall, membelanjakan sesuatu yang entah kenapa terlintas begitu saja di kepalaku. Aku sudah merasa baikan setelah tidur sedari pagi, mataku benar-benar terbuka.

Saat bangun tadi, aku berpikir untuk membeli pakaian yang bisa disebut bukan pakaian sebenarnya. Aku merasa sudah siap menyerahkan hati dan jiwaku untuk suamiku, Raffa. Melihat perkembangan hubungan kami, aku merasa yakin untuk memulainya.

Aku sampai di toko pakaian dalam. Dengan berdebar aku masuk kesana. Melihat sekeliling toko yang lumayan besar ini. Banyak pakaian dalam wanita yang menarik pandanganku.

"Permisi, Mbak. Mbak ingin mencari pakaian dalam dengan model seperti apa?" tanya seorang karyawan toko sedikit mengagetkanku.

"Saya ingin emm... lingerie...?" ucapku malu seraya memalingkan wajah.

"Ah, mari ikut saya."

Aku mengikutnya ke bagian toko yang agak pojok dan terdapat banyak lingerie-lingerie yang membuatku merasa sangat malu.

"Bagaimana dengan ini, Mbak?"

Aku mengambil sebuah lingerie di tangan karyawan itu. Sebuah lingerie berwarna hitam yang transparan. Apa aku kelihatan seksi jika memakai ini? Apa nanti Raffa akan terbuai? Atau dia malah enggan melihatku?

Lingerie ini hanya menutupi bagian bawahku dengan celana tipis, mirip dengan g-string. Oh, aku tidak kuat melihatnya lama-lama.

"Ini adalah lingerie terbaik disini, Mbak. Bahkan banyak yang sudah membeli."

After The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang