One Last Time

14.4K 1.1K 177
                                    

Hak moral penulis telah ditegaskan.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Cerita ini diterbitkan dengan syarat tidak boleh direproduksi atau ditransmisikan ulang secara keseluruhan atau sebagian, dengan cara apa pun, tanpa persetujuan tertulis dari pemegang hak cipta, dan setiap pelanggaran atas hal ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Hak Cipta.

Copyright © 2016 by Aninesca

 
Embun...
Dalam dekapmu, aku merindu
Dalam lingkupmu, aku menderu

---

Vera menatap cermin yang ia genggam. Sebentuk wajah pucat hadir di sana, membalas tatapannya. Hazelnya menelusuri gurat-gurat wajahnya yang berkerut dan tak punya rona. Kemudian matanya beralih naik menuju rambutnya. Dulu ia punya rambut yang indah hingga Anggi pernah bilang jika Vera cocok menjadi model iklan shampo rambut. Tapi sekarang.. ia menarik senyum kecut dan mengedipkan matanya dengan cepat berkali-kali. Tidak, ia tidak boleh menangis. Evan tak akan suka jika melihat ada air mata di wajahnya.

Tak ingin menyakiti dirinya sendiri, ia meletakkan cermin itu lantas meraih sebuah jurnal dengan sampul berwarna biru dari atas nakas. Itu hadiah dari Evan saat ulang tahunnya beberapa bulan lalu. Jika saja ia tak harus berbaring di atas bangkar setiap waktu, mungkin jurnal itu tak akan sepolos ini. Akan ada payet, glitter, manik-manik, serta stiker lucu yang akan menghiasinya. Tapi seperti inipun Vera sudah harus puas. Setidaknya jurnal itu tak lagi polos karna rangkaian pena hitamnya.
  

Embun...
Dalam dekapmu, aku merindu
Dalam lingkupmu, aku menderu

Menggigil kuasa dalam sanubari
Haturkan harapan di langit tinggi
Sembahku bergaung mengalun diri

Butiranmu menyentuhku
Seakan sukma berlutut padaku

Embunku terjatuh
Seakan hempas di hampar keruh

  
Vera menatap sekali lagi lembaran yang baru ia isi dengan buah pemikirannya. Evan selalu berkata jika Vera adalah penulis puisi paling hebat di dunia. Walau Vera tahu itu hanya bualan karna nyatanya Evan adalah orang yang paling enggan menghargai sastra, tapi dirinya tetap senang. Setidaknya Evan masih mau membaca karyanya.

Ah, teringat akan Evan, Vera tidak mendapat kabar apapun dari cowok itu sejak kemarin siang. Padahal nyatanya, Evan telah berjanji untuk menemaninya menjalani kemoterapi semalam. Tapi ia mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Evan sedang sibuk, apalagi beberapa bulan lagi Ujian Nasional akan berlangsung.

Vera menghela napas dan menatap sekeliling ruangan tempatnya berada dengan bosan. Ia ingin keluar dari tempat ini, sungguh. Tak ada yang bisa menemaninya di sini. Ia betul-betul kesepian, dan ia berharap Evan berada di sini sekarang.

  
***

 
Berdesir hatiku di senja
Temaram lentera bawakan nestapa
Musnahkan khayal menimpa asa

---

 
Pintu berderit terbuka dan sesosok wajah muncul di sana saat Mama memintanya untuk memakan bubur lengket rumah sakit. Vera menoleh ke arah pintu dan tersenyum lebar saat Evan berada di sana.

"Siang, Tante," Evan mencium tangan Mama Vera lalu mengangkat plastik berisi satu kilo apel di tangannya.

"Evan bawa apa?" Vera membuka suara dan tersenyum manis saat Evan menoleh ke arahnya.

One Last Time [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang