Ini bukan mimpi. Bangun dan hadapi. Gue tahu lo bukan cewek lemah.
❄❄❄
Suara alunan musik yang super keras itu memenuhi isi ruangan ini, bahkan karena saking kerasnya bisa merusak gendang telinga siapa saja yang mendengarnya, tetapi tidak dengan mereka yang sangat menikmati musik tersebut.
Sorot lampu warna-warni menambah suasana semakin panas. Hentakan kaki di dancefloor semakin menjadi, membuat siapa saja tak ingin berhenti menari ke sana kemari, seperti gadis cantik itu yang meliukkan tubuhnya dengan indah mengikuti alunan musik yang telah dikemas oleh sang dj sebaik mungkin.
Gadis itu terus menari tanpa menyadari ada sepasang mata yang selalu mengawasinya. Sepasang mata itu terus melihat kemana pun gadis itu pergi seakan tak ingin kehilangan jejak. Saat pandangannya sedikit lemah sang gadis dirayu oleh orang asing, benar-benar asing.
Gadis itu merasa risih saat perlahan tangan nakal itu menyentuh punggung putihnya yang terekspos tanpa sehelai kain pun. Dia menangkisnya dengan kasar.
"Maaf, yang Anda lakukan itu sangat tidak sopan," kata gadis itu.
Sang pria tersenyum sinis, "Mengapa kamu mengatakan itu, bukankah seluruh tubuhmu itu sudah ternoda? Mana ada gadis baik-baik yang datang ke club?"
"Anda jangan bicara sembarangan. Kalau pun saya mau melakukannya, saya akan memilih dengan yang seumuran saya bukan dengan yang seumuran dengan ayah saya."
"Berani sekali kamu, saya jadi tambah tertarik." Setelah mengatakan hal tersebut sang pria menarik paksa gadis itu. Tapi aksinya terhenti saat seorang pria menghalangi jalannya.
"Siapa kamu, berani-beraninya menghalangi jalan saya."
"Saya adalah calon suaminya," katanya sambil menunjuk gadis itu.
"Oh ... maafkan saya. Saya tidak tahu kalau gadis ini sudah punya calon suami." Hah, ternyata ciut juga nyalinya. Setelah itu sang pria langsung menarik lengan gadis itu menuju ke luar.
"Ihh, kak apaan sih. Sakit tau," keluh gadis itu saat mereka sudah ada di parkiran.
"Devara Talia Anastasya, tempat itu tidak cocok untuk anak seusia kamu. Kamu itu tugasnya belajar di rumah, bukan malah main ke club."
"Tapi kak, di rumah itu sama kayak di neraka. Vara nggak suka, kakak aja boleh masa Vara nggak boleh. Itu namanya nggak adil." Protes cewek yang benama Devara itu.
"Itu adil, jelas adil. Sekarang kita pulang."
Ishhh, dasar kakak nyebelin. Gerutu Devara dalam hati. Bagaimana tidak, kerjaan kakaknya tiap hari itu hanya tidur, makan, kuliah -itu pun kalau niat-, ke bar, pesta, dan mengulangi lagi dari awal.
❄❄❄
"Kemana saja kalian, jam segini baru pulang?" suara berat itu berhasil mengejutkan Devara dan Daniel kakaknya.
"Apa peduli Papa. Toh kami bukan anak kecil lagi yang bisa Papa monopoli sesuka hati Papa," jawab Daniel enteng.
Devara hanya menonton, mana mungkin dia berani membalas pertanyaan papanya seperti Daniel.
"Papa peduli karena kalian anak papa, dan satu hal lagi papa nggak pernah memonopoli kalian."
Daniel mengangkat pundaknya tanda tak peduli dan kembali menarik tangan Devara untuk menuju ke kamar mereka masing-masing yang ada di lantai atas.
"Daniel! Papa belum selesai bicara, kamu itu apa nggak pernah belajar sopan santu?!" Satu hentakan membuat Devara terkejut. Namun berbeda dengan Daniel, dia masih menganggap tidak penting.
Rasanya ia ingin segara menuju ke kamar kalau Devara tidak menahannya. Dia tahu Devara ingin dia menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu.
"Papa tanya sama Daniel, sedangkan papa udah tanya sama diri sendiri belum."
Dengan napas memburu Roy -papa Devara- menghampiri Daniel dan melayangkan satu tamparan keras ke wajah Daniel yang bisa dikatakan nyaris sempurna.
Melihat hal itu Devara tak tahan lagi, "Stop it. Papa udah ya, pliss. Kak Daniel juga. Kalian tahu nggak sih, setiap saat Devara tersiksa dengan pertengkaran kakak dan papa. Pliss, jangan seperti anak kecil. Don't be childish."
"Maafkan papa sayang." Roy menyesal kembali membuat hati putri satu-satunya itu sakit lagi. Roy memeluk Devara yang menangis.
"Maaf papa itu sudah nggak berarti lagi. Papa terlambat," kata Devara lirih.
"Udahlah, Daniel dah capek pengin istirahat." Setelah mengatakan hal tersebut Daniel pergi menuju kamarnya. Setelah itu disusul oleh Devara.
Hati Roy terasa seperti tertusuk belati. Bahkan Devara tak membalas pelukannya, padahal dulu Devara lah yang selalu minta di peluk saat Roy pulang kerja atau saat Devara sedang menangis.
Memang hubungannya dengan anak-anaknya tak harmonis lagi setelah kejadian dua tahun silam. Dia sadar ini adalah salahnya, dia terlalu mementingkan egonya sehingga semuanya menjadi hancur.
❄❄❄
KAMU SEDANG MEMBACA
Sequence
Teen FictionTim Author: liaayu_ Judul sebelumnya I Will Always Love You