Bad Luck

29 0 0
                                    

Sudah lewat tiga hari sejak modus - minta - dibeliin - mobil - sama - papi gagal. Tidak ada yang berubah. Seperti biasanya, mami dan papi tetap pergi berangkat kerja sejak pagi tanpa membahas kembali mengenai mobil. Meninggalkan aku yang berharap banyak diberikan kendaraan -setidaknya sedan butut pun aku ikhlas menerima.

"Gue sih udah tau alasan papi sama mami lo gak mau beliin lo mobil. Mereka gak mau anak gadis kesayangan mereka satu-satunya jadi suka keluyuran. Gak betah barang sedetik pun dirumah," Yeri mencoba berspekulasi, memberikan jawaban masuk akal begitu aku bersungut-sungut soal keinginanku yang tidak juga terpenuhi sampai detik ini.

Aku mendengarkan Yeri sambil manyun-manyun. Sesekali mataku meliriknya yang duduk gagah di balik kemudinya. Kacamata hitam membingkai matanya. Tangannya dengan lihai memindahkan pedal gigi. Sesekali menekan klakson saat mobilnya disalip motor. Sungguh, aku benar-benar iri pada Yeri!

Padahal pekerjaan papanya Yeri serupa dengan pekerjaan mami dan papiku. Malah, hanya papanya yang pergi bekerja. Sementara mamanya Yeri asik menjadi ibu rumah tangga yang doyannya arisan kesana - kemari. Harusnya mami dan papiku lebih dari mampu untuk membelikanku sebuah mobil.

Aku masih asik bersungut-sungut ketika ponselku berdering nyaring. Yeri mencak-mencak karena kaget. Maklum, dering ponselku lupa kuganti. Semalam aku iseng-iseng mengganti nada dering ponselku dengan suara ketawa nona kunti yang terkenal itu. Yeri ketakutan setengah mati. Masih untung bukan Lengsir Wengi yang aku pilih. Aku tertawa puas lantas menerima panggilan masuk di ponselku.

"Iya, Mi. Kenapa?"

"Kamu dimana?" Suara mami terdengar nyaring di ponselku. Astaga, sepertinya settingan ponselku eror. Atau memang suara mamiku yang memang nyaring kaya petasan banting? Entahlah...

"Masih di jalan. Numpang mobil Yeri. Habis kalau naik bus penuh banget sih. Dempet-dempetan sama om-om pedofil.." Jawabku panjang lebar berharap mami sedikit tersentuh dengan ceritaku yang dibuat - buat.

Tapi seperti biasa mami hanya menanggapinya dengan enteng. "Masih untung dempet-dempetan sama om-om pedofil, bukannya dempet-dempetan sama pencopet atau pembunuh bayaran. Kamu pulang jam berapa?"

Aku bertambah manyun. Mamiku memang antik. Hanya ada satu didunia mungkin. Mana ada ibu yang mensyukuri putri tunggalnya ini dempet-dempetan sama om-om pedofil. Belakangan aku baru sadar, seharusnya aku bilang om-om hidung belang bukan om-om pedofil. Pantas saja mami anteng. Aku kan bukan bocah lagi. Mana ada om-om pedofil yang ngegodain anak kampus?

Dan lagi, belum juga aku sampai dikampus sudah ditanya pulang jam berapa.

"Besok pagi," ketusku terlanjur kesal.

"Hih, kamu sudah bosan hidup jadi manusia ya? Mau ngerasain gimana rasanya jadi batu akik? Ditanya bener-bener kok jawabannya kaya nasi pera, ngawur."

"Ya habis mami sih..."

"Tuh, sekarang mami yang disalahin.."

Aku menghembuskan nafas panjang. Berdebat sama mami tuh gak akan ada habisnya. Aku mengalah. Daripada aku beneran di kutuk jadi batu akik.

"Jam 5, Mi. Kan ini hari jum'at..."

"Nanti pulang langsung beli makanan sendiri aja ya, Flo. Mami sama papi mau makan malam sama kenalan lama. Pokoknya kamu gak boleh pulang lebih dari jam 7. Gak boleh mampir-mampir ke mall. Apalagi jalan sama cowok gak jelas."

Aku memutar bola mata jengah. Bukan soal wejangan mami yang terakhir. Lagian mau mampir ke mall mana? Mau jalan sama cowok gak jelas yang mana? Aku jengah karena mami sama papi enak-enakan makan malam sama kenalan lama sementara aku disuruh cari makan sendiri.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 11, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Secret!Where stories live. Discover now