Thomas Templya, penerus tunggal perusahaan tambang ayahnya yang baru berusia sepuluh tahun. Seorang anak tunggal yang hidup bergelimang harta namun miskin kasih sayang ini sudah mau berangkat ke sekolah. Seperti biasa, Pak Zam menyambut Thomas di depan pintu. Rambut dan janggut putih Pak Zam yang sudah mencapai pinggangnya itu masih belum mau di potongnya. Pak Zam sudah menjadi kepala pengurus rumah tangga dan butler rumah itu sejak Adrian Templya, ayah Thomas masih belia. Dan Pak Zam masih bekerja hingga sekarang! Walau sudah dimakan umur, tubuh Pak Zam masih tegap bahkan tanpa perlu bantuan tongkat.
"Ayo Thomas, cepat masuk mobil! Kamu nggak mau terlambat kan?" Pak Zam menengok Thomas yang masih mengikat sepatu.
"Ini sepatu.. uh. Nyari ribut..Uhhhh..." Tangan Thomas ikut terlilit dengan tali sepatu yang memang sudah runyam.
"Sudah, kamu pakai sepatu yang lain saja." Pak Zam manampili. Thomas memang dibelikan beberapa pasang sepatu.
"Yaudah deh, padahal yang ini kesukaan ku. Kakek tahu sepatuku yang lain mana nggak?" Pelipis Pak Zam mengerut.
"Sudah berapa kali kubilang, jangan panggil saya kakek!" Mata Thomas menyipit tanda tak setuju.
"Orang rambut putih semua, masa kakek masih mau dipanggil pak?" sahut Thomas.
"Sudah ah, nanti telat lho!" balas Pak Zam.
"Huuu, Kakek mengganti topik nih! Curanggg..." Thomas mengikat simpul terakhir yang(akhirnya!) harus diselesikan. "Yosh, tali sepatuku sudah oke!"
Sopir keluarga Templya ada tiga. Satu untuk Adrian, satu untuk ibu Thomas, Miranda, dan terakhir buat Thomas. Sopir Thomas yang masih tergolong muda itu bernama Jhonatan. Pak Zam mengantar Thomas hingga ia memasuki mobil, "Pagi kak Jhon!" Thomas menyapa.
"Pagi juga!"sahut si sopir sambil tersenyum.
"Huh, giliran ketemu Pak Jhon, manggilnya kak!" Gerutu Pak Zam.
"Masa kakek mau dipanggil 'kak' sih? Nggak cocok banget! Kalau Kak Jhon kan masih muda." Sahut Thomas. Tadinya ia ingin menambahkan 'Sadar umur dooong..'. Tapi karena tak tega, akhirnya Thomas diam saja.
Ketika Thomas tiba didepan gerbang sekolah, mobil berhenti lalu Thomas keluar. Begitu memasuki gerbang, Thomas langsung disambut sahabat baiknya, Brian. Kulit brian kasar dan tak terawat karena ia senang berolahraga dan main keluar, bertolak belakang dengan kulit Thomas yang masih putih dan mulus. Thomas sebenarnya ingin saja main keluar atau berolah raga, tapi jadwal lesnya yang padat sangat mengganggu! Yah, inilah yang terjadi kalau bokap kebanyakan duit untuk membiayayi les ini-itu.
"Thomaass!! Pagi! Eh, hari ini Pak Anwar ngasih ulangan dadakan lho.."Brian menyapa.
"Terus kalo dadakan kenapa kamu bisa tahu?" Tanya Thomas.
"Hey, kamu lupa? Aku kan keponakannya Pak Anwar!! Aku bisa dengan leluasa melihat jadwal ulangan dadakan di agenda paman!" jawab Brian dengan semangat.
"Oiya ya... Terus kenapa nggak kasih tau dari kemaren!!??" gerutu Thomas.
"Orang aku juga baru tahu tadi pagi!" jawab Brian.
Thomas masuk ke kelas yang bertuliskan 5b. Ia menaruh tas lalu duduk di tempat yang sudah ditentukan, Brian ikut masuk kedalam meskipun nggak sekelas.
"Puaagii Mas!" Anak berambut gondrong didepan meja Thomas menyapa, matanya berwarna hitam pekat dengan kulit coklat susu yang kasar. Lalu anak itu melihat ke Brian, "Pagi buuu...".
Brian mendelik kesal, sementara Thomas nyengir dan berkata balik, "Huh, iya, pagi juga deekk..." Thomas duduk dibelakang si gondrong yang kebetulan adalah mejanya sendiri.
YOU ARE READING
PERHATIAN!
Short Story[Completed]Thomas Templya, seorang anak dari ayah yang memimpin sebuah perusahaan tambang terbesar di Indonesia. Hidupnya bergelimang harta, ia bisa membeli apapun yang ia mau! Harta ayahnya menjadi idaman semua anak-anak! Tapi apa Thomas senang de...