Tiga bulan kemudian...
"Pokoknya bapak nggak mau tahu! Sabtu besok, orang tuamu harus datang menemui kepala sekolah! Ini sudah keterlaluan Thomas, memang kamu masih bisa mempertahankan nilai-nilaimu, tapi tetap saja nilai kehadiran men....."
Thomas tidak dengar kelanjutannya karena sedang mati-matian menahan kegirangannya. Keluar dari ruang guru, Thomas langsung melompat-lompat sambil berlari seperti orang gila menuju ke kelas. Wajahnya segembira matahari di ufuk timur! Ia mau memberi tahu Kenneth kalau idenya berhasil memancing orang tuanya datang kesekolah! Thomas berlari sambil memegang surat untuk orang tuanya. Ia menjaga surat itu bagai penghargaan yang sangat berharga.
Dikelas, kebetulan Brian sedang mengobrol dengan Kenneth. Thomas masuk dan langsung membanting surat pemberitahuan diatas meja yang diantara Brian dan Kenneth.
"Orang tuaku dipanggil." Nafas Thomas terengah-engah namun ia tetat tersenyum. Kenneth menganga, Brian sudah tertawa duluan.
"Hebat! Kapan datengnya? Lu mau..."
"Nanti gue liat ke..""Bentar, itu kan..."
"Woi, jangan sela omongan orang!!!"
"Lu sendiri!?"
Thomas senang, yang ia harus pikirkan adalah waktu untuk menyerahkan surat pemberitahuan itu. Thomas menunggu Kenneth dan Brian tenang terlebih dahulu.
"Woi! Udah diem!"
"Oke, oke, kita diem..'
"Jadi lu mau kapan menyerahkan suratnya?" Tanya Brian setelah 'perang kata'-nya dengan Kenneth sudah selesai.
"Aku nggak mungkin menyerahkan suratnya pada Pak Zam, aku nggak ingin mengecewakannya. Aku juga nggak mungkin menyerahkan suratnya pas makan malam, soalnya nanti orang tuanya akan bertengkar lagi." Thomas jadi bingung sendiri. Kedua temannya juga tampak sedang berpikir. Kenny masuk ke kelas.
"Ada berita apa?" Tanyanya ceria,"Kok auranya intense bange.." Kenny melongo melihat surat pemberitahuan yang ada di meja. Ia tersenyum, "Kalian pasti lagi mikir gimana cara kasih tahu ke ortunya Thomas kan? Yang pasti jangan waktu makan malam, nanti berantem lagi."
Brian memandang Kenny, "Kok lu bisa tahu kebiasaannya?"
"
Orang gue temen Thomas, wajar dong gue tahu?" Kenny yang tubuhnya lebih tinggi lima sentimeter dari Thomas merangkul leher Thomas gaya cowok preman.
"Eh, Thomas." Kenneth buka suara.
"Hm?"
"Bokap lu yang super sibuk itu harusnya punya asisten dong." Pernyataan Kenneth itu membuat Thomas tersentak.
"Bener juga kau!"
"Iya kan? Iya kan? Titip saja dia.". . .
Thomas mengabaikan pertanyaan Jhonatan yang sedang menyetir mobil menuju ke kantor ayahnya, Thomas yakin si sekretaris ada di kantor. Thomas mengenakan wig dan lensa kontak, hanya untuk jaga-jaga kalau ayahnya ada. Adrian pasti tidak akan suka kalau Thomas dikantornya, bukan di les matematika yang seharusnya sudah dijadwaklan. Bahkan Thomas nekat memasang peninggi di sepatunya. Sesampainya di kantor, Thomas keluar mobil dan melihat seseorang yang keluar dari kantor ayahnya bertepatan dengan dirinya keluar mobil. Tubuhnya tegap, tingginya sekitar 170 cm. Mata birunya terkesan tegas dan tajam, kulitnya putih mulus dan rambutnya berwarna hitam kecoklatan.
Bahkan sebagai lelaki pun, Thomas harus mengakui pria didepannya itu sangat tampan. "Um, permisi Pak," Thomas merasa lebih cocok kalau panggilannya 'kak', karena ia terlihat sangat muda. Tapi demi kesopanan dan supaya tidak dibilang sok akrab, Thomas memanggilnya 'pak'. "Apa Bapak tahu siapa sekretaris Pak Adrian?"
"Pak Adrian tidak sedang di kantor, tapi sekretarisnya ada."
"Boleh saya bertemu dengan sekretarisnya? Terus, kalau boleh tahu, nama bapak siapa ya?" Rasanya agak aneh, biasanya orang kantoran akan ditemani sekretarisnya kemanapun ia pergi. (Kecuali ke toilet ya...)
"Saya sekretaris Pak Adrian. Kalau ada informasi penting, kenapa kamu tidak ngomong langsung kepada ayahmu?" Oh, rupanya orang ini tahu ia adalah anak dari ayahnya, batin Thomas. Apa penyamarannya sepayah itu? Thomas melirik kearah tanda pengenal di dada kanan orang itu yang bertuliskan 'Fide Zachaeus'. Dan tepat dibawah tulisan itu, terdapat ruang kecil bertuliskan 'Sekretaris AF Group'. Tapi masa Thomas menyerahkan surat hasil kerja kerasnya begitu saja kepada orang yang baru ia kenal?
"Tidak apa-apa. Apa bapak punya kunci kantor ayahku? Yah, Bapak kan sekretarisnya." Thomas bermaksud menaruh surat peringatannya langsung diatas meja ayahnya.
Fide menghela nafas, ia bingung buat apa Thomas memakai penyamaran segala kalau ia hanya ingin mengantarkan surat? Dan apa ia tak pernah mendengar kata e-mail? Batin Fide dalam hati. Sudalah, Fide tak akan pernah mengerti jalan pikiran anak-anak. Tapi karena ini anaknya Pak Adrian, ya sudalah, mungkin surat itu juga penting sehingga harus disampaikan secara langsung di tengah siang bolong begini.
"Baiklah."sahut Fide tanpa basa-basi lagi. Mereka masuk kedalam gedung. Ketika masuk, Thomas melihat belasan orang sedang bekerja didepan kompoter.
YOU ARE READING
PERHATIAN!
Short Story[Completed]Thomas Templya, seorang anak dari ayah yang memimpin sebuah perusahaan tambang terbesar di Indonesia. Hidupnya bergelimang harta, ia bisa membeli apapun yang ia mau! Harta ayahnya menjadi idaman semua anak-anak! Tapi apa Thomas senang de...