MALAM pun tiba. Evan datang ke rumah Dea guna memantau belajar Dea untuk kesekian kalinya. Ketika di dalam, batang hidung Dea pun tak terlihat. Evan menuju dapur yang terdapat Bi Nani, asisten rumah tangga yang bekerja dikeluarga Dea sejak mereka kecil.
"Bi, tolong panggilin Dea di kamar ya," pinta Evan seraya membuat minuman untuk dirinya.
"Baik, mas." Bi Nani segera memanggil Dea di kamarnya.
Tak lama kemudian, suara langkah seseorang terdengar dari atas tangga. Gadis itu menilik ke arah dapur. Evan masih berdiri di sana.
"Kamu ngapain ke sini?" Dea terlihat sedikit tak bersemangat.
"Seperti biasa. Mantau lo belajar buat ujian besok," ujar Evan kemudian menyeruput air digelas yang Ia genggam.
"Enggak. Aku nggak belajar."
"Nggak. Lo harus belajar. Gue tunggu di ruang tengah," Evan pun meninggalkan Dea ditangga.
Dea pun kembali ke kamarnya dengan perasaan kesal. Ia mengambil beberapa buku pelajaran di kamarnya seraya mendengus kesal.
"Nyebelin banget sih, si Evan," umpatnya seraya menatap buku-buku tersebut dengan kekesalan.
Dea pun berjalan menghampiri Evan yang telah siap memantau dirinya belajar. Wajah Dea terlihat kesal. Tak ada segaris senyum yang diperlihatkan. Hanya wajah murungnya. Tak banyak mengelak seperti sebelumnya, Dea pun memilih untuk memulai belajarnya. Dengan suasana hati yang tak enak, Dea mencoba fokus belajar.
Evan melihat ada yang berbeda dari Dea. Wajahnya terlihat kesal. Evan belum mengerti mengapa dia seperti itu.
"Lo kenapa sih. Manyun mulu dari tadi. Jelek tau." Evan mencoba menggalih apa yang terjadi dengan Dea.
"Gak!" singkat Dea sekenanya.
"Kenapa sih? ini gara-gara tadi gue marah-marah sama lo?"
"Menurut kamu?"
Evan membenarkan posisi duduknya. Kini Ia telah berada di lantai sejajar dengan Dea. Matanya perlahan menatap sepasang iris mata Dea yang tengah fokus ke tulisan di bukunya.
"Yaudah, sorry kalau tadi marahnya gue ngebikin lo jadi bete kaya gini."
Dea tak menghiraukan apa yang telah dikata Evan. Ia masih seolah sibuk dengan buku pelajaran di hadapannya. Mengacuhkan seseorang di sampingnya.
"Gue marah karna gue gak mau lo sakit. Nanti kalau lo sakit, lo nggak bisa ikut ujian," jelas Evan dengan tatapan matanya yang cemas.
Namun respon Dea masih sama. Terdiam tak mengeluarkan kalimat apapun. Bungkam dalam kekesalan. Menghiraukan setiap kata yang ke luar dari mulut laki-laki di sampingnya.
"Maafin ya.. Please." Evan menyatuhkan kedua telapak tangannya. Mengeluarkan paras menyesal di wajahnya.
Tak dapat menahan apa yang sedang terjadi saat itu. Dea tersenyum melihat tingkah Evan yang jarang dilihatnya. Evan tak pernah sekonyol itu. Meminta maaf dengan bibir yang seolah jatuh. Mencondong ke bawah.
"Iya-iya aku maafin. Makasih, ya, udah khawatirin aku," ujar Dea tersenyum.
Evan mengelus dada, bertanda lega atas apa yang ia perbuat tadi ternyata tak sia-sia. Kini terlihat kembali senyum indah di balik bibir Dea. Saat semua situasi sudah mulai kondusif, Evan memunculkan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Dea terperangah.
"De, menurut lo cinta itu bisa salah nggak?" tanya Evan.
"Ada angin apa nih, Evan Rahmansyah nanya soal cinta ke Deandra? Lagi jatuh cinta, ya? Sama siapa?" Dea seolah menintimidasi laki-laki itu dengan pertanyaan introgasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear London [COMPLETED]
ContoHalo warga wattpad. Untuk yang berminat membaca cerita ini, mohon untuk follow Author terlebih dahulu ya. Terimakasih sudah berminat membaca sekaligus ngasih semangat ke Author dengan Follow, Vote dan Comment :)) ●●● [Re-Published Oktober 2018] Apa...