"Ada sesuatu yang bersembunyi dibalik tatap risaumu
Matamu, seolah berbicara padaku
Memberi sinyal yang belum bisa ku tangkap jelas
Tatapanmu tajam tak bersudut"
Di bulan-bulan setelah ujian tengah semester seperti ini, kami disibukkan oleh ulangan harian yang sudah terjadwal setiap harinya. Guru-guru sudah mulai memberikkan tugas segunung yang harus dikumpulkan, mengerjakkan LKS sampai habis contohnya. Atau sekedar mencari artikel di internet lalu menyusunnya menjadi makalah. Ah yang paling membuat aku jenuh adalah tugas Bahasa Indonesia mengerjakkan buku paket hingga halaman terakhir, tetapi harus ditulis tegak bersambung. Hah, pegal sekali rasanya tanganku, guru bahasa itu tidak pernah menerangkan pelajaran pada kami. Ketika di kelas, beliau hanya duduk lalu bercerita dengan siswa yang dekat dengan meja guru dan dibiarkannya siswa yang lain ramai. Terkadang hanya kalimat "Ayo kamu kok malah mainan hp nggak ngerjakkan" yang keluar dari mulut beliau saat mendapati ada anak yang bermain-main. Sudahlah tak usah terlalu dalam dibahas.
Belakangan ini aku kualahan menghadapi kondisi ini. Aku pulang sekolah pukul empat sore, lalu sampai dirumah biasanya pukul tujuh karena ada tugas kelompok. Untungnya Gandhi selalu menemani aku hingga tugasku selesai, meskipun tugas nya sendiri belum selesai. Tak jarang juga dia membantuku mengerjakkan tugas ketika aku mengeluh kelelahan. Terkadang aku sampai menangis karna tidak kuat, tapi Gandhi selalu saja bisa menenangkanku. Pernah ketika itu, dia datang dengan membawakan dua cone ice cream, sesaat setelah aku menangis. Manis sekali bukan?
Pagi ini, seperti biasanya Gandhi menjemputku. Sambil menunggu aku yang belum selesai sarapan, dia berbincang dengan Ibu. Wah sepertinya semakin hari, dia semakin akrab dengan Ibuku. Kurasa dia pandai mengambil hati Ibu dengan sikap nya yang sopan dan halus ketika berbicara. Ketika sudah selesai, bergegas aku ke depan menemui mereka yang kulihat sedang dalam perbincangan serius.
"Lagi ngomongin apa sih, Bu? Kok wajah Ibu keliatan serius banget dengar Gandhi ngomong," ucapku tiba-tiba membuat Ibu kaget.
"Kamu mau tau aja urusan anak muda, Nan. Sudah berangkat sana nanti terlambat loh," jawab Ibu.
"Siap, Bu," jawabku sambil mencium tangan Ibu.
Aku menatap Gandhi yang sekarang sedang berpamitan dan juga mencium tangan Ibu. Seperti ada yang berbeda tapi aku belum tau apa itu. Ketika dia menoleh padaku, baru aku menemukan jawabannya. Ternyata dia...................
"Gandhi? Kamu cukur kumis?" tanyaku.
"Ehm... iya, Rel," jawabnya sambil meringis malu-malu.
Aku tidak mampu lagi menjawabnya. Sedetik kemudian aku sudah tertawa terbahak-bahak. Juga Ibu yang kulihat tersenyum lebar. Gandhi terlihat sedikit aneh tanpa kumis tipis yang biasa menjadi penanda. Jika dia berjalan dari kejauhan, yang pertama kali terlihat tentu saja kumisnya. Namun aku lebih suka dia yang seperti ini. Entah mengapa aku tak pernah suka dia berkumis, meski banyak yang bilang bahwa justru itulah yang menjadi daya tarik tersendiri dari dirinya.
YOU ARE READING
Senja Yang Hilang
RomanceIni pasti hanya mimpi. Bagaimana bisa dia disini? Bukankah kami selama ini terpisahkan? Dia kini bersamaku. Namun bodoh memang, aku buta akan kewibawaan masa laluku. Sedalam apapun aku memohon pada Tuhan, lelaki di penghujung fajar itu tetaplah hila...