"Orelia, tunggu sebentar," tahan Bu Ervi sesaat setelah aku berpamitan dan mencium tangan beliau.
"Ada apa, Bu?" tanyaku.
"Sejak hari pertama kamu saya bimbing, kamu sudah menunjukkan kemampuan kamu yang luar biasa. Semakin hari, kamu semakin lancar menangkap apa yang saya jelaskan, cerdas melogika setiap soal. Kamu juga sudah cekatan dalam menghitung angka-angka yang tersedia dalam soal. Namun hari ini, mengapa sepertinya kamu tidak dapat berkonsentrasi pada bimbingan?"
Aku membisu mendengar pertanyaan Bu Ervi padaku. Beberapa hari ini adalah hari yang paling berat dalam hidupku. Bagaimana tidak? Aku sudah mulai menjalani bimbingan untuk Olimpiade Akuntansi ku sepulang PTS. Tak ada pekerjaan lain selain membaca buku. Otak ku harus kupaksa mencerna berbagai macam model soal yang terkadang menjebak. Tapi karena tekad yang kuat, aku mampu melewati semua itu, bahkan dengan taraf keseriusan di atas rata-rata. Namun hari ini, tak bisa kupungkiri, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.
"Ehm, tidak apa-apa, Bu. Saya hanya sedikit merasa pusing saja hari ini," jawabku setelah lama aku terdiam.
"Benarkah? Apa kamu ada masalah?"
"Tidak, Bu. Sungguh saya hanya butuh istirahat, mungkin saya kelelahan."
"Ya sudah kalau begitu kamu istirahat yang cukup agar tubuhmu selalu fit. Olimpiade sebentar lagi, jangan membuat usahamu berujung sia-sia."
"Baik, Bu," jawabku lalu beranjak pergi setelah mengucapkan salam.
Langit nampak mulai gelap, rona cahaya merah perlahan punah digantikan cahaya biru kehitaman. Aku segera memakai helm-ku dan mengendarakan motor dengan kecepatan sedang, takut kemalaman. Sudah tiga hari ini aku berangkat sekolah sendiri. Kakiku sudah sembuh. Terdengar adzan magrib saat aku masih di perjalanan, maka dengan sigap aku mempercepat laju sepeda motorku. Dingin mulai merambah, angin malam perlahan meniup wajahku yang tak kututupi dengan kaca helm. Lampu jalan serempak menyala seakan tau para pengguna jalan membutuhkan cahaya nya.
Di perempatan taman kota, lampu menyala merah. Terlihat angka 64 di layar atas lampu.
"Sial, lama banget sih lampu merahnya," umpatku.
Pandangan ku jatuh pada seorang anak laki-laki penjual koran berbadan tinggi, perawakannya bersih tak seperti anak jalanan yang lain. Rambutnya sedikit ikal dan dicukur rapi. Saat menoleh, dia tersenyum memperlihatkan lesung pipi kecil di satu pipinya.
"Lesung pipi itu..," ucapku lirih.
Ya. Lesung pipi itu mengingatkan aku pada lelaki di penghujung fajar yang kini menghilang bak ditelan bumi. Sudah lima hari dia tidak masuk sekolah. Terakhir, setelah pertengkaran itu ku pikir dia benar-benar sakit. Tapi, lama sekali hingga tiada kabar darinya. Beberapa teman kelasku bilang dia sakit demam, tapi tak begitu ku hiraukan. Aku tidak mencoba untuk menghubunginya atau pergi kerumahnya menjenguk. Hatiku masih bimbang, terjebak simalakama. Kebenaran belum terungkap.
Aku mendongak, "Huftt 57 detik lagi."
Enam, lima, empat, tiga... aku menghitung dalam hati. Tapi saat itu, aku seakan teringat cerita Wafaa. Jalanan di depanku terlihat kabur, tatapanku kosong ke arah aspal yang basah terkena sisa hujan.
SMAGA, 5 hari yang lalu
"Orel, Orel kamu harus denger ini. Orel Orel," teriak Wafaa tiba-tiba. Dia berlari terburu-buru dan kini berdiri di depanku dengan nafas tersengal-sengal.
"Apa sih, Waf? Nggak usah teriak-teriak gitu lah, narik perhatian yang lain nih," jawab Fau.
"Sorry, sorry. Sumpah aku panik gaes."
YOU ARE READING
Senja Yang Hilang
RomanceIni pasti hanya mimpi. Bagaimana bisa dia disini? Bukankah kami selama ini terpisahkan? Dia kini bersamaku. Namun bodoh memang, aku buta akan kewibawaan masa laluku. Sedalam apapun aku memohon pada Tuhan, lelaki di penghujung fajar itu tetaplah hila...