Cold

671 39 4
                                    

Dinginnya salju yang turun di luar sana membuatmu menggigil kedinginan. Kau rapatkan jaketmu, meski penghangat ruangan sudah dihidupkan, hawa dingin yang masuk dari sela-sela ventilasi cukup membuatmu merinding.

Kau alihkan atensimu pada sosok suamimu yang tengah menidurkan jagoannya di atas ranjang. Melihatnya, kau menghangat. Jarang-jarang melihat suamimu berduaan dengan Joonie karena kesibukannya sebagai CEO perusahaan.

"Dujun-ah," kau memanggilnya, ia menoleh dan menatapmu dengan pandangan lembut.

"Ada apa?" jawabnya sambil menggendong Joonie dengan perlahan setelah yakin kalau putra kesayangannya sudah tertidur. Ia perlahan berdiri dan berjalan ke arah box bayi Joonie di samping ranjang.

Kau menggeleng. "Kekeke tidak, kok. Aku hanya memanggilmu saja." ucapmu sambil terkekeh. Kau berjalan ke ranjang, mendudukan dirimu di sana sambil menguap pelan. "Joonie sudah tidur, ya?"

Dia menoleh setelah menidurkan Joonie di box bayinya, mengangguk kemudian sebagai jawaban. Ia berjalan ke ranjang, dan mendudukkan dirinya di tepian. "Hah, dingin sekali. Besok aku berniat mengajak kalian berdua pergi keluar, tapi kalau cuacanya begini, sepertinya tidak jadi." gerutunya.

Kau tersenyum, menatap mata lelahnya dengan lembut. "Memangnya besok kau tidak ada pekerjaan?"

Ia menghela napas sebelum menjawab pertanyaanmu. "Sebenarnya ada, sih. Tapi aku sudah minta Dongwoon untuk menghandle-nya." jawabnya sambil menaikkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia berbaring dan menarikmu ke dalam dekapannya.

"Memangnya Dongwoon tidak ada pekerjaan?"

Ia menggeleng. "Dia baru saja selesai cuti menikah. Jadi pekerjaannya belum terlalu banyak." ia mengedikkan bahu. Tangannya ia gunakan untuk mengelus rambut panjangmu.

Kau mengangguk tanda mengerti. Kau memeluk tubuhnya erat, menyalurkan kehangatan di tengah dinginnya cuaca di luar sana.

"Dingin sekali~ padahal penghangat ruangannya sudah kunyalakan~" ia mengeratkan pelukannya. Menenggelamkan wajahmu di dada bidangnya.

Kau tak menanggapi gumamannya. Sibuk menyesapi aroma maskulin yang terkuar dari tubuh Dujun. Aroma yang membuatmu jadi kecanduan.

Kau merindukan momen ini. Kau tahu kalo suamimu super sibuk, tak punya banyak waktu luang untuk sekedar bersantai meminum teh di pagi hari sambil membaca koran atau semacamnya. Kau sudah tahu konsekuensinya saat kau menerima lamarannya saat itu. Dan kau mengerti. Tapi kadang kala, kau merindukan saat-saat sebelum Dujun menduduki jabatan itu. Saat-saat kalian masih menjadi sepasang kekasih.

Yah, setidaknya kau bersyukur karena sekarang ada Joonie yang menemanimu saat suamimu itu sibuk bekerja. Kau sudah lupa dengan rasa kesepianmu dan fokus menjaga Joonie. Lagipula, mau bagaimana pun, semua yang dilakukan Dujun ini kan untuk masa depan Joonie juga. Agar anak laki-lakinya itu tidak kekurangan, dan pendidikannya terjamin. Beruntungnya kau, Dujun masih sempat memperhatikan kalian berdua meskipun waktunya sangat terbatas.

"Chagiya," Dujun memanggilmu dengan suara tertahan. Tangannya masih asyik mengelus rambutmu. "Dingin ya," tambahnya.

Kau berkedip, sadar dari lamunanmu. Setelahnya kau menengadah, menatap manik Dujun dengan pandangan bertanya.

"Ini dingin. Dan kau mengabaikanku. Memikirkan apa, sih?" tanya sambil cemberut.

Kau tersenyum melihat tingkahnya. "Memikirkanmu. Aku selalu memikirkanmu. Dan hanya kau yang selalu ada dipikiranku." jawabmu pelan, tanganmu mengusap rahang Dujun.

Satu tarikan di kedua sudut bibirnya. "Bagus kalau begitu. Di kepalaku juga hanya ada kamu."

Kau tertawa mendengarnya. "Berarti otakmu ada di mana kalau aku yang ada di kepalamu?" candamu.

Dujun merengut lagi. "Aku memang tak punya bakat untuk romantis." ambeknya.

"Tak usah romantis aku sudah mencintaimu kok." godamu. Jarimu bermain di dada bidang Dujun. Membentuk pola love di sana.

Ia berdecak. "Jangan menggodaku terus! Dasar nakal!" ia merapatkan tubuhmu ke tubuhnya. Membuat jarimu yang asyik bergerak jadi terhenti seketika.

"Dujun-ah ... Lepaskan," kau memberontak, mencoba menjauhkan tubuhmu dari Dujun. Bukan apa-apa, tapi mendadak jantungmu jadi berdetak kencang tak karuan. Takut-takut terkena serangan jantung mendadak.

Dujun menggeleng. "Sudah kubilang, ini dingin." ia menunduk, tangannya yang nganggur ia gunakan untuk mengangkat wajahmu yang menunduk. Matanya menatap manik coklatmu dengan dalam. "Aku butuh kehangatan." ucapnya dengan nada seduktif.

Kau menelan ludah susah payah. Sialan! Tatapan matanya benar-benar menyihirmu. Kau bingung harus berbuat apa, memberontak pun sepertinya takkan ada gunanya.

Ia perlahan mendekatkan wajahnya, membuat hidung kalian bertemu. Ia tersenyum sesaat sebelum memiringkan wajahnya, mengecup bibirmu lembut dengan perlahan.

Kau memejamkan matamu, menikmati ciuman lembut yang Dujun berikan. Sekali-kali kau membalas ciumannya, menciptakan suara decapan samar karenanya.

Lama-lama, ciuman kalian memanas. Ia menjilat dan melumat bibirmu dengan lihai. Ia menekan tengkukmu guna memperdalam ciuman kalian.

Kau sendiri hanya bisa meremas punggungnya yang masih terbalut kaus. Menikmati permainan yang tengah Dujun ciptakan. Saat ia menggigit bibirmu pelan untuk meminta akses lebih dalam, kau dengan senang hati membuka bibirmu.

Lidahnya menyeruak masuk, mengabsen satu persatu gigi-gigimu yang berjajar rapi. Menggelitik langit-langit mulutmu dengan lidahnya. Mengajak lidahmu menari di dalam mulutmu. Menciptakan suara decapan kencang yang menggema di dalam kamar.

Puas dengan bibir dan mulutmu, ia melepas ciumannya. Bibirnya kemudian menjelajahi dagumu, lalu turun ke lehermu. Mengecupi lembut leher jenjang nan putih milikmu. Memberikan tanda kepemilikan di sana, yang mungkin dalam beberapa hari takkan hilang.

Ia singkap rambutmu yang menghalangi kegiatannya, sibuk membuat tanda di lehermu. Sesekali desahan tertahan kau keluarkan sebagai respon akan kelakuan Dujun di titik-titik sensitifmu.

"Umh~ Dujun-ah~"

Ia tersenyum saat mendengar kau terus menyebut namanya. Dengan tak sabar ia membuka kancing piyamamu. Menyingkapnya sampai bahumu terlihat. Ia kembali mendaratkan kecupannya di bahumu. Tangannya tak tinggal diam, tangannya menelusup masuk, guna  mengelus pelan perut ratamu yang masih tertutup baju tidur.

Kau meringis geli. Tanganmu menjambak pelan rambut hitam Dujun yang masih sibuk di dadamu. Saat ia hendak membuka kancing bajumu dengan sempurna, mendadak suara tangisan bayi menginterupsi kegiatan kalian berdua.

"Eeyaaa~ eeeyaaa~"

Dujun berhenti. Menatap wajahmu dengan memelas.

Kau tertawa, mengedikkan bahu. "Joonie terbangun." ucapmu. Ia menyingkir dari atas tubuhmu, memberimu akses untuk bangkit berdiri menghampiri Joonie yang membutuhkanmu. Wajahnya merengut, kesal karena kegiatannya diganggu.

"Jangan kesal pada anakmu sendiri." omelmu. Kau mengangkat tubuh Joonie dan menempatkannya pad gendonganmu. Menepuk-nepuk bokongnya agar kembali tertidur.

"Joonie-ya, untung kau itu anakku. Jadi aku tidak bisa marah padamu,"

Kau tertawa mendengarnya. Dasar.

"Kalau dia sudah kembali tidur, cepat ke sini. Aku belum selesai." ucapnya dengan suara tertahan. "Aku masih kedinginan dan perlu kau hangatkan." tambahnya lagi.

Kau mendelik. "Dasar byuntae!"

"Biar saja, aku mesum hanya pada istriku saja. Memangnya kau mau aku mesum pada yeoja lain juga, heh?" godanya.

"Lihat saja kalau kau berani, Tuan. Kau takkan melihat aku dan Joonie lagi. Surat cerai akan langsung aku kirimkan padamu." ancammu.

Ia tertawa mendengar ancamanmu. "Maka dari itu, cepat buat Joonie tertidur dan kembali hangatkan aku." ucapnya sambil menampilkan smirk andalannya.

***

End.

***

Hehehehe. Another imagine alay :"))))
Btw, makasih ya yang udah mau baca imagine alay ini, matur nuhun juga buat yang udah mau vote :")

Sampai bertemu lagi di imagine alay selanjutnya ~.~

Yoon Dujun [Oneshoot Collection]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang