Fuck You

1K 59 13
                                    


Tubuhnya terbungkus kemeja flanel kotak-kotak biru-putih dengan lengan dilipat sekenanya. Rambutnya tergerai begitu saja, dengan sedikit warna coklat yang ranum. Sepatu Converse dekil berpadu dengan celana jeans belel yang di lutut-lututnya sedikit sobek. Sempurna benar kostum yang melekat padanya menggambarkan karakter yang apa adanya, cenderung cuek. Tidak seperti, ehm, tentu saja Intan yang selalu pantang keluar sebelum alis kelar!

Ini adalah janji pertemuan ketiga –dan Miko tak yakin tak bakal makin tumbang!

Usai memimpin meeting kilat di ruangannya yang tak seberapa luas, Miko membelah jalanan ditemani salah satu staf utamanya yang sekaligus kawan dekatnya. Denting lagu If I Could Fly mengalun lembut, mengheningkan suasana.

Setelah hampir setengah jam, Civic hitam itu berhenti di sebuah kafe murah meriah yang nyaris tak pernah sepi. Kebanyakan pengunjungnya adalah mahasiswa. Berkelompok-kelompok. Pesanan idola Miko di sini adalah Indomie goreng dobel pakai telor, kopi hitam, air mineral, dan bakwan.

Kali ini suasana tak begitu padat –mungkin karena masih agak pagi. Masih kurang dari pukul sepuluh.

"Reza, coba nyalain laptopmu, kita pertajam lagi konsep pameran lukisan lima kota itu," ujar Miko sambil membakar sebatang Marlboro. Matanya mengedar. Lalu melirik Caterpillar hitam bergaris-garis kuning di lengan kirinya. Semoga on time....

Reza yang kantong matanya kelihatan menebal karena kurang tidur membuka suara. Menggeser laptopnya, mendekatkan ke arah Miko. "Semua pelukis sudah oke dengan semua jadwal ini. Soal kesiapan lokasi acara, hanya satu lagi yang perlu dikonfirmasi final. Oh ya, hanya Pak Nasirun yang belum memberikan jawaban final soal berapa lukisannya yang akan disertakan. Juga satu kurator yang katanya masih sibuk...."

"Za, aku mau cerita sesuatu...."

Reza mendonggakkan kepala. Keningnya mengernyit.

"Ini bukan tentang event pameran lukisan, tapi tentang Ve...."

Reza terbahak. Ve lagi! Wow... Tepat usai acara pelatihan menulis itu, di dalam mobil, sepanjang jalan pulang, Reza menyimak semangat Miko yang bercerita tentang perempuan agak berisi yang baru dikenalnya, yang digambarkan dengan ekspresi, "Menarik dengan gayanya yang lepas, apa adanya, dan...kritis."

"Ini hanya kamu yang kuceritai, Za. Oke?" Mata Miko menelusuri wajah Reza. Mencari keyakinan pada mata Reza bahwa ia dapat dipercaya untuk menggenggam ceritanya. "Aku merasa menemukan atmosfir baru setelah kenal dia, berjumpa dengannya...."

"Sebentar, sebentar. Jadi kamu sudah mengadakan pertemuan setelah acara tempo hari itu? Sedalam itu, ya?" Reza memandang lekat-lekat, dengan gayanya yang khas: mengamati, menyelidik, bagai filsuf.

Miko mengangguk.

"Gila kamu, Mik!" Menggeleng-geleng. "Semendalam itu, ya. Ehm, apa Intan tahu?"

"Itu dia poin ceritaku. Dia pernah membaca chat kami...."

"Mati kamu!"

Tahu benar Reza siapa Intan yang dikenalnya lebih dahulu sebelum Miko curhat menyukainya. Intan yang tak segan memperdengarkan kalimat-kalimat straight untuk menggali sesuatu dengan detail dan terang. Intan yang dikenalnya pada pernikahan kakaknya, Niar, yang berkali-kali berdiskusi dengannya seputar event pernikahan itu. Nyaris empat tahun lalu. Intan yang, apa daya, direlakannya menjadi milik Miko meski ia pernah menyimpan rasa suka tanpa Miko tahu sedikit pun....

"Lupakan Intan, Mik. Kita fokus pada Ve sekarang." Miko menyeruput kopi hitamnya. "Sebentar lagi dia akan datang ke sini. Katanya, sama teman-temannya." Tangannya menjamah ransel yang tergeletak di kursi di sebelahnya, lalu mengeluarkan dua buah buku hard cover tebal. Yang satu Biografi Gus Dur, satu lagi Cinta Semanis Madu. "Aku janji memberikan buku hebat ini padanya. Di sini."

Dear LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang