November, 19 [II]

26 0 0
                                    

     Hamparan ratusan peserta ujian pun memenuhi lapangan gedung sekolah seketika. Dibawah pekat langit malam dan cahaya redup bulan kami melaksanakan upacara pembukaan ujian. Belasan kolat dari berbagai tempat berkumpul dibawah satu cabang yang sama untuk mengikuti ujian ini. Kami semua saling berbaur dan berbaris sesuai tingkatan sabuk. Setelah upacara pembukaan selesai, kemudian dilanjutkan dengan senam bersama. Terdengar agak aneh memang, melakukan senam di saat matahari sudah lama terbenam. Namun itulah tujuan dari ujian kenaikan tingkat ini, bukan? Agar berbeda dari yang lain, agar dapat merasakan pengalaman yang baru. Setelah itu kami semua duduk sejenak sambil menikmati snack yang dibagikan oleh panitia. Bicara tentang panitia, kebetulan pelatih gue dan asisten-asistennya termasuk panitia ujian kenaikan tingkat ini. Jadi itu kenapa mas Lana dan mas Diar dateng kesini. Sementara mas Andi sendiri adalah peserta ujian seperti gue dan lainnya, yang sebentar lagi meraih tingkatan yang setara dengan mas Diar dan mas Lana.

     Ujian tahap pertama pun segera dimulai setelah istirahat selesai, yaitu ujian gerak seni. Sembilan orang dari kami, yaitu tingkatan dasar dua yang semuanya satu angkatan dengan gue diarahkan untuk menuju ke salah satu ruang kelas. Setelah sampai dan diberi sedikit arahan, kemudian kami langsung berbaris sejajar buat langsung ngelaksanain ujian. Untunglah ujian ini ngga dilakuin secara individu, karena kalo sampe itu terjadi, abislah gue. Ternyata materi yang udah gue pelajarin sama yang diujiin beda. banget. Akhirnya, setelah ngerasa abad demi abad berlalu, ujian tahap pertama pun selesai. Dengan rasa deg-dengan dan peluh yang mengalir akibat rasa panik yang masih tersisa, kami bersembilan balik ke ruang kelas kolat kami.

     Kami menunggu kira-kira hampir dua jam sampai semua anggota kolat kami sudah lengkap dan kembali ke ruang kelas. Dinginnya suhu ruangan karena AC ditambah mata yang semakin lama semakin berat membuat rasa kantuk gue ngga tertolakkan. Tapi sayangnya, masih ada tahap ujian selanjutnya, yaitu gerak jalan. Akhirnya gue dan yang lain pun melangkahkan kaki kembali ke lapangan untuk memulai gerak jalan dini hari setelah salah satu panitia memberitahu kami kalau waktu istirahat sudah selesai.

     Setelah semua peserta ujian telah berkumpul dan sudah rapi di barisan masing-masing, kami semua memulai perjalanan. Barisan paling depan dipimpin oleh salah satu panitia, sementara panitia yang lainnya mendampingi sepanjang barisan. Udah disiapkan mobil yang akan mengangkut siapa aja yang mungkin bakal ngga kuat dan harus kembali ke gedung. Ada juga panitia yang naik motor buat mengawasi sepanjang barisan dan membawa peserta yang udah angkat tangan ke mobil pengangkut. Diliat dari semua persiapan itu, feeling gue mengatakan kalo perjalanan kami bakal jauh. Sebelumnya salah satu dari kami udah nyoba nanya ke pelatih gue, tapi dia ngga mau membocorkan rahasia sama sekali. Dia ngga bilang berapa jam perjalanan akan berlangsung atau minimal jarak yang bakal ditempuh. Dia cuma bilang kalo kami bakal melewati rute sekolah-desa-sekolah.

     Berbagai macam pemandangan dapat kami jumpai disepanjang perjalanan. Namun kesenyapan dan gemerlap bintang di langit malam yang lebih mendominasi. Udara terasa begitu sejuk dan terdengar suara jangkrik yang menandakan kesunyian. Suasana yang begitu jarang didapatkan di kota. Tapi seseru-serunya gerak jalan yang kami lakuin ini, kaki udah semakin kaku dan kelopak mata udah semakin berat.

     Perjalanan tak kunjung berakhir, padahal mobil pengangkut dan beberapa motor panitia sudah beberapa kali mondar-mandir. Tak terkecuali motor yang dikendarai mas Lana dan mas Diar. Tiga kali sudah mereka memperlambat kecepatan motor setara dengan langkah kaki kami untuk sekedar menanyakan keadaan kami. Tiga kali itu pula gue merasa kaya seolah mas Lana nanya ke gue, karena meskipun dia nanya ke yang lain, arah pandang dan matanya selalu ke gue. Tapi karena ngerasa aneh dan takut kegeeran, gue memilih untuk tidak ikutan menjawab seperti yang lain.

     Beberapa perumahan dan perkebunan pun kami lewati, kemudian kami beristirahat sejenak. Setelah dirasa cukup, kami kembali melanjutkan perjalanan. Rani dan Afi berjalan dibelakang gue, mereka bilang sudah lelah jadi sengaja memperlambat langkah kaki. Sementara Nia yang sudah nampak seperti sleep walking berjalan di depan gue. Akhirnya untuk menghilangkan kebosanan, gue menghampiri Ami yang setingkat dan seangkatan dengan gue dan kami mengobrol tentang berbagai hal. Pembahasan pun langsung melonjak heboh ketika kami membahas tentang "Dilan".

     "Ya ampun, samaaa! Gue juga udah baca. Seru banget seriusan deh. Malah gue udah baca yang kedua!" Ujar Ami dengan hebohnya.

     "makanya ituuu! Ih seriusan lu ada yang kedua? Gue mau pinjem doong!" Sahut gue, tak kalah riuhnya dengan Ami.

     "Iya bisa bisa, tapi gue adanya yang versi online gitu..." Ami menjelaskan.

     "Yah gimana dong? Di hp gue aplikasi PDFnya---"

     "Ah apaan sih, boong kali itu si Aira."
Kata-kata gue seketika terpotong oleh sebuah kalimat dari seseorang bersuara rendah dan berat. Bukan, bukan dari Ami.

     Tanpa disadari, ketika gue dan Ami sedang berjalan dan membahas "Dilan", ternyata kami melewati mas Diar dan mas Lana yang sedang berhenti dan duduk di atas motornya untuk beristirahat.

     "Ih apaan sih mas, nimbrung aja nih." Jawab gue dengan memasang wajah seperti jengkel, seraya berjalan melewati mereka.

     Mas Lana yang dengan santainya memotong kata-kata gue tadi hanya nyengir lebar, seolah puas karena berhasil ngeisengin dan membuat gue jengkel.

     Kami berdua pun melanjutkan pembahasan tentang "Dilan". Mungkin sudah hampir dua kilometer kami berlajan, namun topik tentang novel yang sedang naik daun tersebut tak kunjung lepas dari pembicaraan kami. Bahkan pembahasan tersebut dirasa membuat perjalanan dan waktu kami terasa lebih cepat karena saking asiknya.

     "Alur ceritanya simple tapi kejadian-kejadian didalemnya tuh ngena banget ya," Ami menyimpulkan.

     "Iya bener banget, padahal mereka cuma pacaran bia...." Gue menoleh ke samping kanan, kalimat gue yang diucapkan agak terlalu kencang itu pun kembali terpotong. Namun kali ini bukan oleh kata-kata.

     Pas banget saat gue mengucapkan kata-kata 'pacaran', lewatlah mas Lana dengan mas Diar dibagian belakang. Seketika mereka berdua langsung menoleh ke arah gue. Mata mereka memandang dengan penuh rasa penasaran, ditambah lagi mereka nyengir dengan begitu lebarnya. Mungkin kalo situasinya ngga begitu canggung, gue bakal tertawa terbahak-bahak karena demi apapun ekspresi mereka lucu banget. Gue yang merasa aneh dan canggung banget cuma bisa setengah senyum dan menyerngitkan kedua alis gue. Aneh. Kenapa mereka langsung berekspresi kaya gitu cuma karena kata 'pacaran'?

     Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Padahal kami sudah mulai berjalan sejak pukul setengah satu malam. Entah berapa lama lagi hingga kami sampai tujuan. Kami berjalan melewati lahan kosong, yang disekelilingnya dipenuhi pohon pisang dan bahkan sungai. Kami juga sempat melewati semacam pemakaman tua dan danau yang agak luas. Suasana pun berubah menjadi agak intens. Gue semakin erat bergandengan dengan Afi, sambil mengobrol dan membahas tentang curhatan Afi. Namun ngga berapa lama kemudian Afi memutuskan untuk berlari ke depan, menghampiri Nia yang sudah nampak pucat. Alhasil gue pun ditinggal berjalan bareng Pras, Odi, dan beberapa temen cowo lainnya. Bukannya makin semangat, gue justru makin ngantuk bareng mereka. Gimana ngga, yang mereka bahas dari awal sampe akhir tentang gebetan mulu. Bosen gue. Akhirnya gue pun memutuskan untuk menghampiri Afi dan Nia. Karena mereka sudah agak jauh didepan, gue pun berlari kecil supaya cepat.

     "Yak bagus, lari terus ya sampe sekolah nanti," ucap mas Lana sambil tertawa kecil.

     Tiba-tiba terdengar suara mas Lana yang berada di samping gue, memperlambat laju motornya.

     Gue pun hanya bisa memberi wajah setengah sebal dan menjawab, "coba deh gantian dulu mas."

     Lagi, kata kata gue hanya disambut dengan tawaan oleh mas Lana.

     Kami pun berjalan lagi kira-kira sekitar beberapa kilometer hingga mulai terdengar suara ayam berkokok disepanjang jalan. Hal tersebut menandakan hari sudah hampir pagi dan matahari akan segera terbit. Bayangin kami udah jalan selama hampir tiga jam. Tersisa gue, Nia dan Afi yang berjalan beriringan karena Rani udah ngga kuat dan lebih memilih naik mobil pengangkut. Usaha kami ngga sia-sia, karena akhirnya kami sampai juga di rute semula tanpa bantuan motor ataupun mobil pengangkut. Kami pun segera berjalan menuju ruang kelas dan beristirahat karena masih ada tahap terakhir ujian yang udah dinanti-nanti, yaitu ujian tahap pematahan.

~◇~◇~◇~

Please do comment and vote! Thankies :]

It Takes TwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang