tiga°

1.9K 96 33
                                    

"Afifah."panggil laki laki itu. Afifah menoleh dan kaget.

"Ardan?"kata Afifah. Ardan adalah gebetan Afifah. Mereka sudah dekat kurang lebih 2 bulan, namun Ardan tidak peka peka padahal Afifah sudah memberi kode, dari kode semapure, morse, sampai kode soal ujian. Afifah sampai lelah karena merasa digantung kayak jemuran.

"Ngapain disini?"tanya Ardan.

"Lagi nongkrong aja. Hehehe."kata Afifah nyengir. Ardan hanya tersenyum.

"Ekhemm." Rasyid berdehem.

"Oh ya, Ardan kenalin ini Rasyid, Rasyid ini Ardan." Kata Afifah memperkenalkan mereka. Mereka berjabat tangan sebentar.

"Oh ya, kamu ngapain disini?"tanya Afifah.

"Oh, tadi habis ketemu sama temen."kata Ardan.

"Ohhh."

"Yaudah, aku duluan ya Pah, Syid." Kata Ardan. Rasyid hanya mengangguk.

"Hati hati Dan."kata Afifah.

"Oke." Ardan sudah pergi dari Cafe itu. Oh ya, Ardan itu 11 12 sama Rasyid, tapi Rasyid lebih ganteng. Ardan itu anak taekwondo sudah sabuk hitam dan sering memenangkan lomba lomba. Rasyid tak mau kalah, ia juga kapten tim basket dan ia juga mencalonkan diri menjadi waketos.

"Oh ya, kita lanjutin yang tadi. Semoga gak ada halangan lagi. Semoga gak ada yang ganggu lagi." Kata Afifah emosi.

"Sabar Pah, kayaknya penting banget yang pengen kamu omongin sekarang."

"Ini antara rugi dan tekor."

"Yaudah silahkan lanjutin."

"Oke, kamu mau gak ....." perkataan Afifah lagi lagi lagi lagi dan lagi terpotong akibat telfon berdering dari handphone nya.

"Aghhh. Siapa sih ganggu aja!! Gue mutilasi juga sekalian nih orang." Umpat Afifah kesal. Rasyid hanya terkekeh melihat ekspresi Afifah yang sedang kesal. Terlihat lucu dan imut.

Afifah mengambil handphonenya dan melihat nama yang tertera dilayar handphonenya.

Ibu Negara yang Terhormat

Muka Afifiah langsung pucat. Tak biasanya Ibunya meneleponnya. Kalau ibunya meneleponnya pasti ada hal yang penting.

"Hallo."

"Hallo Bun."

"Pah, hiks hiks." Isak Ibunya.

"Kenapa Bun? Kok bunda nangis? Ada apa?" Tanya Afifah khawatir.

"Nenek Pah, nenek."

"Nenek kenapa?"

"Nenek meninggal Pah." Hiks." Afifah yang mendengar kabar tersebut langsung menangis dan handphone nya terjatuh. Rasyid yang melihat pun langsung mengambil handphone itu.

"Hallo tante."

"Hallo, ini siapa? Afifahnya mana?" Tanya Bunda.

"Ini Rasyid tante."

"Oh, nak Rasyid. Afifah baik baik aja kan?"

"Baik tante, tapi terlihat syok dan menangis. Memangnya ada apa ya?" Tanya Rasyid.

"Neneknya meninggal nak Rasyid. Nak Rasyid bisa antarkan Afifah pulang?"

"Bisa tante. Yasudah saya tutup dulu telponnya tante. Saya mau mengantar Afifah pulang dulu."

"Terima kasih nak Rasyid. Hati hati dijalan."

"Baik tante." Telepon terputus.

Rasyid melihat Afifah menangis sedih karena kehilangan sosok Nenek yang sangat Afifah sayangi. Dulu saat berpacaran, Afifah pernah cerita soal sang Nenek yang sangat ia sayangi dan yang menyayangi dia. Nenek yang memanjakannya, nenek yang menghiburnya saat sedih, nenek yang membelanya saat ia dimarahi oleh sang Ayah. Sekarang ia telah kehilangan sosok yang sangat ia sayangi.

"Pah." Kata Rasyid menepuk bahu Afifah pelan.

"Pah, ayo kita pulang. Bunda nyuruh kamu pulang." Kata Rasyid yang mencoba memapah Afifah agar bisa berjalan. Mereka pergi ke rumah Afifah yang telah ramai dipenuhi oleh sanak saudara dan tetangga yang menangis terisak.

Afifah langsung berlari kedalam rumah dan langsung melihat jenazah sang Nenek telah berbaring tenang. Sedangkan Rasyid juga masuk kedalam rumah untuk mengucapkan bela sungkawa.

"Nenek." Kata Afifah lirih.

"Papah yang kuat ya."kata Bunda sambil memeluk anaknya. Afifah hanya bisa menangis.

"Om, tante. Rasyid turut berduka cita atas meninggalnya neneknya Afifah, semoga beliau tenang dialam sana dan mendapatkan tempat terbaik disisi-Nya."

"Terimakasih Nak Rasyid atas doanya dan juga terima kasih sudah mengantarkan Afifah pulang."kata Bunda. Rasyid hanya mengangguk pelan.

"Papah, yang sabar ya." Kata Rasyid sambil menepuk pundak Afifah pelan.

------------

°To be continuous°

16 Desember 2016

CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang