BAB 1

51 6 4
                                    


Akhirnya hari itu tiba. Dimana mahasiswa-mahasiswa baru dikumpulkan dalam satu taman yang luas, dan mereka berbaris rapi menghadap sebuah podium coklat yang megah. Di sana berdiri seorang wanita berbadan tegap, sambil memegang mikrofon. Rambutnya yang berwarna keemesan meliuk-liuk ditiup angin kecil.

"Para calon penerus bangsa! Selamat atas diterimanya kalian dalam seleksi perguruan tinggi negeri ini, silahkan tepuk tangan untuk kita semua di sini" ucap wanita itu.

PROK PROK PROK PROK, terdengar tepuk tangan riuh dari ratusan tangan mahasiswa baru.

"Selanjutnya, dengan penuh hormat dan kebanggaan, kita sambut...! Pak Veto! Selaku pimpinan universitas ini" lalu yang disebut maju ke podium sambil diiringi tepuk tangan yang menggema.

Beberapa orang langsung berbisik-bisik begitu melihat Pak Veto, sebagian lagi termenung tanpa berkata-kata. Penampilan Pak Veto memang selalu membuat orang-orang yang baru melihatnya merasa takjub sekaligus aneh, karena penampilannya tidak sesuai jabatannya.

"Aku kira penampilan nyentriknya itu hanya ada di tv-tv" bisik salah satu mahasiswa baru.

"Hihi, aku kira hanya untuk mengiklankan universitas ini" timpal yang satu lagi.

Pak Veto selalu menggunakan jubah putih kebesaran hingga di bawah lutut, dan memakai kaos kaki hitam dengan dililit oleh sabuk kecil berwarna coklat. Wajahnya terlihat cerah, dengan kumis yang tipis, dan alis tebal, serta rambut tergerai sebahu, membuat karismanya begitu tinggi. Ia sudah terbiasa hadir di depan umum, baik di televisi saat acara talk show, maupun saat pertemuan antar bangsa.

Bisikan-bisikan riuh rendah masih terdengar di taman. Ternyata para mahasiswa masih saja berbicara tentang Pak Veto, terutama para mahasiswi baru. Spontan saja wanita berambut keemasan yang tadi sempat berdiri di podium, segera berdeham "Ekhm!". Tapi nyatanya taman masih saja dipenuhi suara-suara bisikan mahasiswa baru.

Pak Veto berdiri di podium tanpa bergerak, ia tersenyum, melihat ratusan pemuda-pemudi sedang membicarakan dirinya sambil berbisik.

Ah rupanya tahun ini aku mendapatkan mahasiswa yang senang bersuara, yah semoga saja ada bibit unggul yang dapat menyuarakan hati rakyat.

Masih dalam keadaan tersenyum, Pak Veto mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi. Semua mata langsung tertuju pada tangannya, suara bisik-bisik langsung senyap begitu saja. Kini hanya ada desau angin dan tangan Pak Veto yang dapat dirasakan oleh orang-orang di taman. Semua seperti terkesiap.

Lalu tiba-tiba Pak Veto menjentikan jarinya, dan keluarlah percikan api dari telunjuk dan jempolnya yang saling bersinggungan.

Ctek!

Tras..

Ctek!

Tras..

Ia menjentikan jarinya dua kali..

dan selama dua kali itu percikan api ikut keluar dari jarinya....

Semua langsung bertepuk tangan, semua mahasiswa langsung merasa kagum. Para petinggi universitas pun ikut bertepuk tangan.

Diantara ratusan mahasiswa baru, ada satu yang tidak merasa kagum, ia merasa kemampuan itu sangat familiar. Ia tidak sedikitpun merasa kagum. Spontan saja ia mengangkat tangannya, dan semua orang langsung teralihkan perhatiannya kepada mahasiswa baru itu, bagaimana tidak, ia berbaris di deretan paling depan, dan di banjar paling tengah.

"Mau apa kau anak muda?" tegur Pak Veto pada mahasiswa itu.

"Dia ngapain sih, caper sama pimpinan universitas" bisik mahasiswa lain yang jauh darinya.

"Sebelum kau menjawab pertanyaanku, perkenalkan lah dirimu" lanjut Pak Veto.

"Nama saya Zilta Sakanusa..."

***

Tiga SekawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang