Jam di pergelangan tanganku menunjukkan bahwa sekarang sudha pukul delapan lebih lima belas.
Sial.
Aku berlari dari rumah hingga ke sekolah yang kebetulan jaraknya tidak begitu jauh. Biasanya aku memang berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, tapi khusus untuk hari ini tidak ada namanya berjalan kaki dengan santai.
Aku. Terlambat. Masuk. Sekolah.
Saat aku tiba di sekolah, gerbang sudah tertutup. Nafasku masih memburu dan aku memilih untuk duduk berselonjor kaki di depan gerbang. "Astaga, bagaimana ini?" Aku menggaruk mataku yang sebenarnya masih mengantuk dengan kesal. Peraturan di Andersen, jika kau terlambat lebih dari sepuluh menit kau tidak boleh masuk ke dalam sekolah. Kecuali dengan surat dari orang tua.
"Arghh!! Lihat saja ya kau, Tim!"
Tim adalah anak tetanggaku yang masih berusia tiga tahun. Semalam setelah selesai mengadakan rapat dengan Mia melalui video-call, orang tua Tim datang ke rumahku dan memintaku untuk menjaga Tim. Hanya ada aku dan Mom di rumah, tanpa sepengetahuanku, Mom setuju untuk menjaga Tim selagi mereka pergi ke rumah sakit mengecek keadaan anak sulungnya yang barusaja kecelakaan. Alasannya; "Mom kasihan dengan Keith dan Tya. Jadi kita jaga saja Tim bersama-sama."
Miris memang pasangan itu. Tapi aku dan Mom juga sama miris. Pasalnya Tim sangat nakal, semalaman aku dan Mom dibuat pusing karena tingkahnya yang sangat hiperaktif. Dia baru bisa tidur pukul setengah tiga pagi setelah kuberi susu juga oreo tiga bungkus.
"Sudahlah, siapa suruh juga terlambat Nona Flanches."
"Siapa juga yang ingin terlambat.." gerutuku kesal, petugas keamanan yang tidak memiliki rambut itu memiliki tatapan menyebalkan. Jadi aku memutuskan untuk pergi dari sekolah menuju taman yang ada di dekat sini.
"Kalau mau masuk sekolah, jangan lupa bawa surat dari orang tua, ya!"
Aku hanya menaikkan jempolku ke udara tanpa menoleh ke belakang. Menyebalkan. Ingin rasanya aku mengumpat, tapi itu terlalu berlebihan.
Karena suasana taman dekat sekolah cukup lenggang, aku melepas sweater abu yang terdapat logo sekolahku. Agar aku tidak dikira membolos. Sekarang hanya tersisa kemeja putih polos dengan dasi hitam tetap menggantung di leherku. Aku menyimpan sweater di dalam tas, lalu mengeluarkan jaket bomber dari dalam tas dan sebuah novel yang barusaja kubeli dua hari lalu.
Aku tersenyum tipis melihat judulnya, Me Before You. Banyak yang bilang novel karya Jojo Moyes ini bagus, jadi kuputuskan untuk membelinya.
"Sepertinya aku memiliki teman membolos hari ini."
Belum sempat aku membaca halaman pertama dari novel ini, si keriting nomor dua ini tiba-tiba muncul dan sedikit membuatku bingung bercampur terkejut.
Bradley Styles' POV
Olivia yang terduduk di bangku taman menatapku dengan tatatapan penuh kebingungan. Lucu sekali, rasanya ingin kucubit kedua pipinya itu.
Act cool, Brad.
"Apa yang kau lakukan disini, curls?" Olivia menutup novel yang ada di pangkuannya, tatapannya berubah menjadi tatapan menyelidik.
"Aku membolos." Jawabku santai. Aku melotot saat dia dengan sigap menggeser tasnya ke sisi bangku taman yang kosong. Sehingga aku tidak bisa duduk di sana. "Kau ini! Badan kecil sepertimu area duduknya harus banyak seperti orang gemuk. Oh apa lemakmu tak kasat mata ya?"
"Kau!" Giliran Olivia yang sekarang melotot, dia meremas tangannya dengan kesal. Dengan acuh dia menarik tasnya ke sampingnya, menyediakan sisi bangku taman yang kosong untuk kududuki. Aku tersenyum puas.
"Terima kasih, sayang."
Aku duduk di sampingnya, ujung mataku melirik ke arahnya. Olivia memegang sebelah pipinya dengan tatapan sedikit terkejut. Menggemaskan. Apa dia sedang blushing?
"Ouch, sepertinya ada yang blushing." Gadis itu mendongak lalu memutar bola matanya malas. Aku benci dengan kebiasaannya yang satu itu.
Olivia mulai kembali membaca novelnya dengan tenang. Seolah tidak menyadari keberadaanku. Sial! Bagaimana bisa dia bersikap seperti ini pada seorang Bradley William Styles? Dia pikir dia siapa?
Aku melakukan berbagai macam cara untuk menarik perhatiannya. Mulai dari berteriak memanggil penjual es krim, menumpahkan botol minumku di dekat sepatunya, menyetel musik tanpa memasang earphone di telingaku. Kesal, aku mengambil novelnya. Dan itu membuat dia terkesiap.
"Apa-apaan sih!?"
"Ada aku disini bisakah kau menghargai eksistensiku!? Setidaknya kita bisa berbicara beberapa menit saja." Omelku dengan sedikit uring-uringan.
"Oke, kita berbicara." Aku tersenyum mendengarnya. "Tapi satu menit, dan yang tadi itu sudah terhitung satu menit lebih sedikit."
"Kau bernafas saja sudah satu menit bodoh."
"Jangan panggil aku bodoh, keriting! Kembalikan novelku!" Olivia berusaha meraih novelnya yang kuangkat ke udara. "Kembalikan, Bradley!"
"Tidak, kau itu sekali-sekali harus diberi pelajaran."
Aku menggoyang-goyangkan tanganku. Olivia tidak terlalu tinggi, jadi dia harus sedikit berusaha lebih keras untuk menggapai tanganku. Tanpa aku sadari, ternyata ada seekor lebah yang mendekat ke arahku. Dan itu membuatku panik.
"Bradley! Novelku!"
Novel tidak berdosa itu pun harus jatuh terlempar ke dalam kolam ikan di belakang bangku taman yang kami duduki. Aku terbelalak, tidak menyangka kalau novel itu akan jatuh ke dalam sana.
"Bradley William Styles! Aku mengutukmu!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Switched?
Fanfiction"Mom, dad. Mengapa Bradley lebih terlihat seperti anak kalian daripada aku?" -- "Tertukar? Lelucon macam apa itu, Styles?"