16. (a) Au revoir

36.1K 1.5K 144
                                    

Suara mesin helikopter yang menderu mengalahkan teriakan berisi perintah yang Zen sampaikan pada kaki tangannya. Di sebelahnya aku bagai patung hidup duduk berdiam menatap lurus kealiran sungai di seberang, tempat di mana dermaga Ratti Lanna Resort berada. Beberapa orang petugas hotel berjongkok di tepian dermaga, silih berganti mereka melepaskan keranjang bunga ke permukaan sungai Ping yang berarus tenang. 

            Dari kejauhan aku masih bisa melihat rimbunan bunga yang menaungi kanopi yang tadinya akan menjadi tempat aku dan Zen mengucapkan sumpah pernikahan. Pita satin berwarna putih beras yang membelit penyangga besi-nya melambai-lambai tertiup angin, seakan ingin mengucapkan salam perpisahan dan hatiku mendadak disesaki rasa sedih tak terperi melihat semua pemandangan itu.

            “Runee-chan,” suara itulah yang bisa menghentikan keterpakuan, juga perasaan sedih yang menyerang. Aku memandangnya, lurus kedalam matanya. Bahkan diapun tak mampu sepenuhnya mampu menyembunyikan kekecewaan itu. “Kita berangkat.” Dia mengucapkan itu setelah sebelumnya mencium sekilas bibirku. Aku mengangguk pasrah. Juga saat ia mulai memasang sabuk pengaman pada tubuhku dengan sangat berhati-hati. Ketika heli mulai mengudara aku merasakan kepahitan pada kesadaran jika mungkin aku tidak akan pernah kembali lagi ke tempat ini.  Dan sebutir air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.  

            “Kita akan kembali lagi,” Zen menjawabku, suara lembutnya terdengar samar diantara deru mesin heli, bagai janji yang diucapkan dalam mimpi.

            “Bisakah?” aku menggumam pelan.

            “Pasti Runee-chan, lihatlah ke bawah,” pintanya kemudian. “Krathong-krathong itu mengatakannya pada kita.”

            Aku mengikuti apa yang berusaha ia perlihatkan padaku, dan senyumku mengembang menyadari keindahan apa yang kulihat di bawah sana. Lilin dan dupa yang menyala pada ratusan keranjang bunga yang dilepaskan ke Sungai Ping membentuk jejak terang di atas permukaan air sungai yang bergelombang. begitu indah sekaligus mistis, tapi tak mampu menghilangkan kesedihan yang merasuk hatiku, terlebih saat aku mengingat kisah yang terjadi dibalik perayaan Loy Krathong. Nang Nopamas, wanita pertama yang melakukan ritual itu melakukannya untuk mengusir rasa sedih akibat terlalu lama ditinggal oleh Raja Ramkhamhaeng menakhlukan daerah jajahan yang jauh dari Kerajaan Sukhothai.

            Tanpa sadar aku merapatkan tubuhku ke dekat Zen. Seakan menyadari isi pikiranku—tanpa berkata apapun—ia meraih jemariku, dan menggenggamnya dengan erat. “Kau tau,” akhirnya ia bersuara, “Ingin rasanya aku bersikap egois diantara semua yang aku ketahui ...,” dia menghentikan kata-katanya untuk sekedar menelan ludah dengan kekeluan yang terlihat diwajahnya. “Tapi aku tahu, orang itu adalah salah satu dari sedikit orang penting yang kau miliki di dunia.”

            Keharuan membuat dadaku sesak. Dan airmata yang kutahan mulai meluncur satu demi satu dari pelupuk mataku. Meski begitu kuguratkan senyum saat balas menatap pada Zen, “Aku tidak akan pernah marah jika kau bersikap egois,” untuk kali pertama aku mengatakan isi hatiku yang sesungguhnya tanpa ragu.

            “Tapi kau akan menyesali setelah kita melakukannya Runee-chan,” Zen terdengar seperti mengingatkanku, dan aku tahu jika ia benar. Tapi bahkan sebelum ia menghentikan pernikahan kami terjadi, aku sudah melakukan sesuatu yang kusesali. Tanpa bisa kuhalangi benakku kembali memutar peristiwa terakhir yang membuatku meninggalkan Hegel untuknya.

            “Malam saat aku menemukanmu di kamarku ...” kumulai apa yang ingin kubongkar pada Zen, “Setelah Julian menjebakku, Hegel membawaku kerumahnya,” kuusap airmata yang mengaburkan pandanganku. “itu—dalam keputusasaan—aku memintanya untuk tidur denganku.”

Badless LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang