[01] Kematian yang Didoakan

502 45 10
                                    

"But still I hold on, this mask get running thin. I know, I'm losing my senses——"


Jarum jam baru menunjukkan pukul satu siang ketika langit mulai gelap. Awan kumulonimbus perlahan mulai muncul dengan warna gelapnya, menggumpal di atas langit hingga mendominasikan kelabu.

Sebuah mobil berhenti di depan jejeran pagar besi berwarna cokelat muda. Tak lama kemudian pintu mobil terbuka, menampakkan sesosok wanita yang digandeng oleh lelaki yang memasang wajah sebal.

"Lo tuh repotin banget sih." ketus lelaki itu, Aaron.

Gadis pucat di sampingnya hanya diam, memberikan seutas senyuman ikhlas lalu kembali berjalan perlahan-lahan mendahului Aaron.

Setelah mobil yang merupakan taksi itu pergi. Barulah Aaron menyusul Sharon yang menunggunya di depan pagar. Ia kembali berdecak kala melihat sang kakak yang bertubuh lebih mungil darinya itu di sana, masih memasang sebuah senyum bodoh.

"Berhenti senyum sama gue. Karena gue nggak akan pernah senyum balik ke lo." ketus Aaron. Pemuda itu lalu membuka gembok pagar dan berjalan lebih dulu memasuki rumah.

"Aaron." panggil sang kakak.

Pemuda itu menoleh sebentar, masih dengan raut sebal yang membekas. "Apa?"

Sharon menarik nafasnya sebentar sebelum mengutarakan perkataannya. "Nanti kamu mau apa buat natal?"

Ini masih awal Desember dan Sharon sudah mengungkit tentang natal. Hal itu membuat Aaron berdecih. Kesal kala mengingat natal-natal yang sudah ia lewati sejak kecil.

"Apa yang gue pengen?" tanya lelaki itu. Sharon mengangguk penuh antusias. Barangkali ia bisa mengabulkan permintaan adik kesayangannya ini.

Namun nyatanya jawaban Aaron malah mengiris hatinya. Membuat dadanya sesak penuh rasa sakit.

"Gue pengen lo mati aja."

Adiknya itu berbicara dengan nada menusuk lantas meninggalkannya sendiri, berdiri kaku di depan rumah.

[]

"Gue pengen lo mati aja."

Hingga saat ini, perkataan Aaron menjadi beban pikiran Sharon. Membuat gadis berumur 18 tahun itu tidak bisa tidur. Bahkan selera makannya hilang. Sharon juga membiarkan obat-obatannya tergeletak begitu saja di atas meja. Seharusnya obat-obatan itu sudah Sharon minum dari beberapa jam yang lalu, tetapi tangannya tak bergerak barang mengambil sebutir pun.

Sharon tahu Aaron membencinya sejak dulu, bahkan ketika Aaron masih belia. Pemuda itu telah memproklamirkan kebenciannya terhadap Sharon.

Bukan ini yang Sharon inginkan. Tetapi sulit bagi Sharon bahkan orang tuanya untuk menjelaskan kepada Aaron agar pemuda berumur 16 tahun itu mengerti. Bahwa Sharon mengidap penyakit berbahaya sejak ia kecil. Tentu saja Sharon harus mendapatkan perhatian lebih dari orang tua mereka juga biaya yang mahal agar kesehatan Sharon kembali pulih.

"Sharon belum tidur?" Tiba-tiba pintu kamar Sharon terbuka, memunculkan Mama dengan wajah terkejut yang khas.

"Ah, Mama," Nada suara Sharon juga ikut terkejut. "Belum, Ma. Sharon nggak bisa tidur." lanjut Sharon seraya tersenyum simpul.

"Ngga ada yang memberatkan—lho kenapa obatnya belum diminum, Sharon?!" Nada suara Mama meninggi, menandakan wanita berkepala empat itu panik setengah mati.

Sharon dan AaronTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang