[Bonus] Selamatnya Sang Bajingan

396 32 10
                                    

"That saved a wretch like me——"

Waktu terus bergulir, berjalan tanpa henti meski kedatangan dan kepergian berlalu silih berganti. Kedatangan kadang hanya untuk singgah sementara. Tapi kepergian nyaris nyata untuk abadi selamanya.

Aaron berjalan menuju perbukitan di belakang sebuah gereja. Ia menyusuri jalan setapak dengan sepasang tungkainya yang sudah dilapisi celana kain berwarna hitam.

Hari ini, ia memakai baju yang rapi. Tidak seperti dulu lagi, yang selalu saja terlihat berantakan.

Rambutnya ia sisir rapi ke belakang, tubuhnya dibaluti warna hitam, mulai dari kemeja hingga sepatu pantofelnya.

Penampilan serba hitamnya sangat kontras dengan sekuntum mawar putih yang ia genggam.

"Aaron!" suara Mama menyelinap masuk ke pendengaran Aaron kala ia sampai di salah satu bagian bukit, nyaris terletak di puncak.

Dengan senyum lebar, pemuda itu berjalan menghampiri Mama. "Kamu lama banget. Papa sama Mama udah mau pulang." kata Papa seraya membersihkan rerumputan yang mulai tumbuh nakal di atas gundukan tanah yang sudah dipasangi keramik.

"Papa sama Mama duluan aja ke bawah. Nanti Aaron nyusul. Aaron ...." suaranya memelan dan hilang sejenak, tampak berpikir. Papa sampai mendongak menunggu jawabannya.

"Aaron mau ngomong berdua dulu sama Kak Sharon." lanjutnya lagi. Kali ini segaris senyum kembali merekah diikuti rasa sakit pada luka lama yang sudah tersimpan rapi di hati tiap orang yang berada di bukit ini.

Papa menghela nafasnya panjang lalu berdiri perlahan. "Aduh, papa udah tua kelamaan nggak jongkok jadi pegel." ucapnya pelan.

Mama lantas membantu Papa berdiri, menuntun sang suami perlahan. "Iya, papa uda bangkotan ya," sahut Mama, yang mengundang tawa di antara mereka bertiga.

"Ya sudah, Mama mau turun dulu sama Papa. Kami tunggu kamu di gereja ya, Aar. Jangan telat ibadah." tutur Mama lembut.

Aaron mengangguk sebagai balasannya.

"Selamat ulang tahun, anak Papa." Papa mengacak rambut Aaron, memberinya sebuah senyum penuh sayang, membuat hatinya berdesir pelan selayaknya rambutnya kini yang terbang dibuai desiran angin.

"Iya, selamat ulang tahun, sayang." Mama memeluk Aaron dengan hangat, menambah getaran yang terasa begitu mengganjal di hati Aaron. Namun Aaron diam. Menahan semuanya dengan segaris senyum tulus.

"Makasih, Ma. Makasih, Pa. Selamat natal. Aaron sayang Mama dan Papa." balasnya.

Kemudian setelah melanjutkan beberapa patah kalimat yang saling bersahutan, kedua orangtuanya pergi. Menuruni bukit menuju gereja yang berada di bawah perbukitan.

Aaron di sana, berdiri sendirian. Pemuda itu meletakkan buket bunga yang tadi ia bawa.

"Hai, Kak." bisiknya lirih.

Pemuda itu lalu berjongkok di samping gundukan itu, meletakkan bunga mawar putih lantas mengusap ukiran nama di sana.

Addara Sharon Arlando.

"Selamat natal," katanya. Tangannya masih setia mengusap pelan ukiran nama yang agaknya sedikit berdebu. "Ini natal kedua semenjak kakak pergi ke surga duluan."

"Di sana kalau natal seru ya, Kak? Kan pasti pesta ulang tahun Tuhan dirayain secara besar-besaran. Buktinya sukacita sampai terasa di bumi."

Rerumputan yang tumbuh di sekitaran gundukan itu Aaron cabuti, bersihkan perlahan. Ia masih meracau sesukanya. "Aku juga ulang tahun lho, Kak. Kakak nggak mau ngasih aku kado? Ah iya, sweater buatan kakak sekarang jadi kekecilan. Aku nggak bisa pakai lagi. Jadi aku simpen berbarengan sama album kakak. Makasih ya kak udah ngasih album itu. Aku jadi nggak ngerasa kesepian tiap kali inget Kakak ada di sana, meski dulu."

Sharon dan AaronTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang