Laki-laki itu tampak cool dengan kacamata yang bertengger mesra di hidungnya. Dia menatapku dengan senyum manis terukir di bibir tebalnya, ditambah dengan lesung pipi di kedua pipinya yang sedikit gempal. Tatapan di balik kacamatanya padaku mampu menghipnotis dan membuat kupu-kupu mengepakkan sayapnya di perutku, rasanya benar-benar tak keruan.
Langit Biru. Setiap kali mulutku menggumamkan namanya, hatiku luluh lantak bak diterjang tsunami. Lebay? Aku tidak peduli, aku akui hipotesaku memang lebay. Tak apa, suka-suka aku dong!
Terdengar kursi berderit karena ditarik oleh laki-laki yang tadi menatapku. Dia duduk tepat di hadapanku dengan senyum yang masih terukir jelas, senyumnya mampu membawa kebahagiaan dalam hatiku. Aaaaa, aku ingin berteriak sekarang juga untuk memberitahu bahwa laki-laki di hadapanku ini adalah mi-eh, belum masih calon. Haish, kata 'calon' itu membuat hatiku nyeri seperti ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk hati ini. Oke, hentikan pikiran hiperbolaku. Sekarang fokuslah pada dia yang kini tengah menatapku dengan senyum manis yang mengembang.
"Hey!" tegurnya membuatku tersentak, "ngelamunin apaan dah, pake senyam-seyum kaya onta," sambungnya sambil menahan tawa.
Sialan! Dia malah menghinaku, untung aja aku suka sama dia, coba kalau enggak, aku bakalan tenggelamin dia di rawa-rawa seperti Hayati yang ada di fi—film apa, ya? Lupa lagi. Ah, lupakan!
"Enak aja loe bilang gue kaya onta, gini-gini juga gue cantik tau!" balasku sewot.
Dia tergelak lalu mencubit gemas kedua pipiku yang chubby. "Iya, iya. Adikku yang satu ini emang paling cantik."
Jleb!
Batinku tertawa miris saat mendengarnya mengatakan bahwa aku ini adiknya, ha ha adik satu rahim aja bukan, ewh.
"Ha ha adik?" ucapku memasang wajah bodoh dan menaikan sebelah alis.
"Iya adik, Galuh kan adik gue yang paling ucuuuuul, u nya banyak," ucapnya sambil mencubit pipiku lagi. Hish, dia pikir dicubit seperti itu tidak sakit apa.
"Kurang ajar! Sakit tauk pake ka." Aku memukul lengannya yang masih mencubit pipiku. Ouh, sepertinya itu pilihan yang salah karena pipiku sekarang malah bertambah sakit.
Aku mengerucutkan bibirku sambil mengusap pipi yang sepertinya memerah akibat cubitan laki-laki gila di hadapanku, "Enak aja lo panggil gue adik, serahim aja enggak," ucapku sambil menyipitkan mata.
"Iya, kita emang nggak serahim, tapi kita adik kakak ketemu gede," katanya sambil tergelak.
"Nggak, gue ini perempuan. Pe-rem-pu-an," geramku sambil menekankan kata 'perempuan,' pada ucapanku, "gue aja anggap loe laki-laki kok, bukan kakak. Jadi mulai sekarang anggap gue pe-rem-pu-an bukan adik, oke."
Langit mengangguk-nganggukan kepalanya seperti anjing yang di simpan di dashboard mobil sambil terbahak memegangi perutnya.
"Ngapain ketawa! Emang ada yang lucu, ya?" kesalku sambil mencondongkan badan dan memukul bahunya.
"Enggak, nggak pa-pah," jawabnya sambil sedikit terbahak.
"Ish nyebelin!"
Kesal sih, pasti. Mau marah, tapi percuma. Mau gimana lagi? Toh, dia hanya menganggapku sebagai adik. Namun, di sisi lain, aku senang dapat melihatnya tertawa seperti itu. FYI, dia itu hanya bisa tertawa di hadapan orang-orang terdekatnya, termasuk diriku. Kalau di depan orang yang nggak dikenal atau baru dikenal, dia itu kaku kaya maneken yang berjejer di etalase-etalase mal, senyum aja nggak pernah apalagi tertawa. Jadi, aku termasuk orang yang beruntung, 'kan karena membuatnya tertawa.
Lama terhanyut dalam pikiranku, sampai-sampai tidak menyadari kalau Langit menendang-nendang pelan kakiku. Sontak aku terkejut dengan aksinya itu, aku hendak memakinya. Namun, urung kulakukan saat melihat dia meletakan jari telujuk di bibirnya, tanda agar aku tidak berbicara. Matanya terus melirik ke arah belakangku, aku mengernyit lalu mengikuti arah pandangnya. Dalam kebisuan, aku memgangguk mengerti dengan apa yang dilihatnya. Kupaksakan senyum mengembang di bibirku.