Warna hitam yang membentang luas dipenuhi oleh ribuan kerlap-kerlip cahaya indah berbentuk titik-titik kecil itu, membuatku tak hentinya mengagumi keindahan yang Tuhan ciptakan. Siliran angin menerpa kulit wajahku, sehingga mengibarkan helaian demi helaian yang menempel di kulit kepalaku. Netraku terpejam menikmati kesunyian malam ini, hingga derap langkah seseorang menyentakku dari kemenungan. Indra penglihatku terbuka seketika, tapi suara itu lenyap entah ke mana, bagai terbang terbawa angin, pergi begitu saja tertelan kesunyian. Keningku mengernyit, sejauh mata memandang, setajam mata melihat di sebuah hamparan ilalang ini, hanya ada aku sendiri. Lalu, langkah kaki siapa tadi?
Aku berdiri dari dudukku yang nyaman. Badan ini berputar membentuk bulatan secara perlahan untuk mencari seseorang tadi. Namun, tetap saja tak ada sosok selain diriku yang kutemukan. Tak lama terdengar rintihan pilu dari arah belakangku. Shit! Umpatku dalam hati. Selalu saja seperti ini! Padahalkan aku sudah lama tidak pernah mengalami ini lagi.
Kelopak bernetra hitam miliku tertutup dengan cepat. Kedua tanganku pun sontak menutup indra pendengaran dengan paksa. Perlahan-lahan, rintihan pilu itu tak terdengar, digantikan oleh lengkingan tawa yang mengerikan tepat di sebelah kanan telingaku. Kemudian disusul oleh suara tawa dan ocehan anak-anak kecil yang berkejaran ke sana-ke mari. Getaran hebat menjalari seluruh tubuhki dari ujung kaki hingga ubun-ubun, memgakibatkan buliran-buliran bening nan dingin keluar dari sela-sela kulitku.
Astagah! Ada yang menarik-narik ujung kaos yang kukenakan. Lututku terasa semakin lemas saja karena ulah si penarik, tarikan itu semakin dipaksa. Mau tidak mau kelopak netraku terbuka, tatapanku tertuju begitu saja pada mata ... astaga! Tubuhku tiba-tiba kaku seperti patung, aku tidak sanggup melihatnya. Mat-ma-mata itu hanya ada satu di balik kelopak, sedangkan kelopak yang satunya lagi hanya menyisakan lubang, di mana pemilik kelopak itu? Waj-wajahnya dipenuhi oleh cairan warna merah berbau anyir.
Oh Tuhan! Perutku mulai bergejolak seperti hendak mengeluarkan isinya lewat kerongkongan, tepi terasa sulit sekali mengeluarkannya. Gadis kecil itu tersenyum sambil menatapku, senyum tawar terbit dari mulut sobeknya. Demi Tuhan! Senyumannya itu sungguh mengerikan. Tangan kecilnya terulur ke hadapanku, menunjukan boneka teddy bear berukuran sedang yang sama-sama terlumuri cairan merah, hingga warna aslinya tak nampak. Tiba-tiba mulutnya bergumam lirih, menyanyikan tiap bait yang tak kumengerti isi liriknya. Namun, aku tahu bahasa itu. Ya, kalau tidak salah ingat itu adalah lirik lagu bahasa sunda.
Abdi tèh ayeuna....
Gaduh hiji boneka....
Tèu kinteun, saèna....
Sareng lucuna....Ku abdi diacukan....
Acukna saè pisan....
Cik mangga, tinggali....
Boneka abdi....Seperti sebuah lagu pemanggil, karena setelah lagu itu selsai dinyanyikan, tiba-tiba saja kumpulan anak kecil muncul antah-berantah, berhamburan ke sana-ke mari. Kehadiran mereka membuat perutku terasa seperti diaduk-aduk, masih mending kalau lucu. Lah, ini? Mereka datang dengan anggota tubuh yang tak lengkap, ada yang tidak memiliki kaki, tak memiliki tangan, ada yang setengah badan dengan usus yang melambai ke mana-mana, ada yang kepalanya saja tanpa badan dengan organ tubuh yang bergelantungan. Ugh! Itulah sebabnya, pertku terasa mulai. Kondisi mereka lebih mengerikan dari seorang anak kecil yang tadi bernyanyi di hadapanku.
Netraku terpejam sekejap saat sebuah benda lembek dan dingin terlempar mengenai pipi sebelah kanan lalu terjatuh tepat di kakiku. Pandanganku tertuju pada benda tersebut. It-itu, benda lembek itu berseimutkan cairan merah yang kumaksud tadi. Dan itu adalah ... ginjal. Ewh, ya ampun! Tanganku sontak mempekap rongga wajahku saat hendak berteriak. Cairan bening satu per satu lolos membasahi pipi tembamku, tubuh agak berisi milikku semakin bergetar hebat karena ketakutan.