-
Sudah sebulan ini, aku hanya focus pada pekerjaanku dan juga bisnis cafe. Pemasukanku menurun. Ditambah aku harus membangun kembali cafe cabang di Bogor.
Hasil olah tkp dan kesimpulan pihak polisi, cafeku murni karena keteledoran. Aku tidak mempermasalahkannya, karena yang terpenting itdak ada korban jiwa.
Hendra menghubungiku, mengajakku mengunjungi gereja, dekat sekolah kami dulu. Mungkin ini cara Tuhan, memeringatiku. Bahwa aku aku telah lupa mengunjungi rumahnya. Lalai dalam mengingat Kekuasaannya.
Kami berdoa khusuk. Setelah itu mengunjungi sekolah, hitung-hitung reuni dengan staff pengajar.
Aku beruntung, Hendra selalu menemaniku. Setelah Hendra mengantarku pulang. Kevin sudah menunggu di lobby apartemen.
"Ada apa?" tanyaku malas. Aku terlalu lelah.
"Kamu ngak kerja hari ini. Ponsel ngak diaktifin, ngapain aja?"
Sejak kapan Kevin kepo dengan urusanku.
"Aku hanya pergi ke gereja, dan reuni ke sekolah. Lagipula ada Hendra yamg menemaniku. Jadi kau tidak perlu khawatir."
Kevin menatap nyalang padaku, aku bisa melihat dia berusaha menahan amarahnya.
"Ku harap kau tidak menyesal, dengan keputusanmu Damar." desia Kevin berubah marah.
Apaan sih? Kenapa dia marah. Dasar aneh!
"Aku ngak pernah menyesal dengan keputusanku. Kenapa sih, Hendra itu temanku. Dia baik, selalu ada untukku. Bukan seperti kalian yang berpura-pura baik."
Kevin berdecak kesal, memilih mengalah. Aku hanya mendengus tak suka menatap punggungnya yang semakin menjauh.
.
.
.
.
Hari ini Kevin memintaku menemui clien yang akan bekerja sama dengan perusahaan. Sedangkan dia akan bertemu Kayla membicarakan rencana pernikahan mereka. Ya seminggu lagi mereka akan menikah, dan aku diminta Kevin menjadi pengiring pengantin pria. Dasar saudara tak berperasaan, tidak tahu apa aku mantan Kayla. Ah sudahlah sejak kapan aku menganggap Kevin saudara? Dia hanya orang asing.
Setelah mendapatkan kepastian bahwa clien bersedia menanam modal di perusahaan, aku pun kembali ke kantor. Di tengah jalan mobilku dihadang oleh beberapa preman, mereka memintaku turun.
"Apa mau kalian?" tanyaku kesal.
Mereka menyeringai lalu mulai menyerangku.
"Cihh, main keroyokan."
Kupasang kuda-kuda beladiriku. Beruntung ayah mengajariku beladiri sejak kecil. Meski kewalahan aku berhasil menumbang tiga orang.
Tapi tetap saja aku kalah jumlah. Ditengah kesadaranku yang kian menipis, seseorang memukul kepalaku dengan kayu. Setelah itu kegelapanlah yang menemaniku.
.
.
.
Aku mengerang, rasanya kepalaku sakit sekali. Apa yang terjadi?
Kubuka perlahan mataku, yang pertama kulihat adalah cahaya putih dari lampu neon. Dan juga dinding bercat putih. Lengan kiriku terpasang infus.
"Kau sudah sadar sayang?"