Bab 1. Kebangkitan

15 1 1
                                    

Pagi hari yang cerah mengawali hari ini. Sang mentari tak enggan menampakkan pesona nya. Burung-burung pun saling bersahutan mendendangkan irama indah. Angin pun tak mau kalah menyapa dengan lembut membuka pintu surga. Keindahan yang sungguh tak tertara. Di taman itu nampak seorang pemuda tengah duduk bersandar di pohon besar menikmati harmoni alam yang terjadi. Dengan buku dan pensil di tangannya, sesekali ia menuliskan kata-kata. Sesekali pula ia menghirup lalu menghembuskan napas nya lembut. Tersenyum ia dibuatnya karena alam tak henti-henti menghibur dirinya yang tengah dibuat pusing oleh tugas sekolahnya.
"Haah.. membuat puisi bukanlah keahlianku," gumam pemuda tersebut sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Seekor burung berwarna biru hinggap di bahunya.
"Hallo, kawan kecil," ucapnya lembut sembari mengusap tubuh burung itu dengan telunjuk nya. Burung itu pun terlihat sangat menikmati usapan lembut tersebut.
"Dhiey!!," sahut seseorang sembari berlari menuju arah pemuda yang bernama Dhiey itu. Suara nya yang besar dan menggelegar membuat burung yang hinggap di bahu Dhiey terbang karena terkejut.
"Kau membuat ku terkejut, Axel," ucap Dhiey sembari mengambil buku dan pensil yang terlempar karena terkejut tadi. Axel tersenyum lebar sembari menyeka keringat di dahinya.
"Sedang apa, kau?," tanya Axel sembari duduk di samping Dhiey. Perawakan Axel yang besar memaksa Dhiey untuk sedikit bergeser. Keringat yang membasahi tubuh Axel mengeluarkan aroma menyengat yang menusuk hidung membuat Dhiey sesekali berdeham.
"Aku sedang mengerjakan tugas membuat puisi. Kau sudah selesai?," tanya Dhiey sembari menutupi hidungnya dengan kerah bajunya. Axel tertawa keras.
"Apa peduliku dengan tugas itu? Minggu depan ada pertandingan rugby antar sekolah. Jadi aku lebih fokus berlatih, membuat ku panas. Hahaha." Dhiey hanya tertawa seperlunya.
"Teng.. Tong.. Teng.. Tong." Suara bel berbunyi terdengar seperti bel di acara pernikahan. Terdengar sangat klasik. Dhiey melihat arlojinya yang menunjukkan pukul 10 pagi. Dhiey bergegas pergi.
"Hey! Kau mau kemana?," tanya Axel sembari bangun dari duduknya.
"Aku ada kelas. Sampai jumpa," ucap Dhiey sembari melambaikan tangannya tanpa menoleh.
"Fyuuh.. untung saja bel itu menyelamatkan ku. Kalau tidak aku sudah pingsan karena terlalu banyak menghirup aroma keringat Axel," gumam Dhiey. Seseorang menepuk bahu Dhiey.
"Hai.." Dhiey menoleh.
"Selamat pagi, Candice," sapa Dhiey lembut. Candice tersenyum manis.
"Selamat pagi juga," jawab Candice. Ia memperhatikan buku yang dibawa Dhiey.
"Kau sudah selesai kan mengerjakan tugas dari Pak Barry? harus dikumpulkan hari ini kan?." Dhiey tersentak mendengar ucapan Candice.
"Hari ini?!!" Candice hanya mengedipkan matanya beberapa kali melihat reaksi Dhiey.
"Kau belum mengerjakannya?," tanya Candice sembari mengangkat sebelah alisnya. Dhiey menggeleng lalu menghembuskan napas berat.
"Sigh.. Kau tahu kan aku tidak ahli dalam membuat puisi," ucap Dhiey lesu. Candice tersenyum sembari menyodorkan buku.
"Aku sering membuat puisi. Jika kau mau contek saja satu punyaku mumpung masih ada waktu." Dhiey menatap Candice. Matanya berbinar-binar.
"Benarkah boleh?," tanya Dhiey penuh harap. Candice mengangguk mantap. Refleks Dhiey memeluk Candice.
"Terima kasih. Kau memang sahabat terbaikku." Candice terkejut karena Dhiey memeluknya. Seketika wajahnya memerah.
"Um.. Dhiey lebih baik kau menulis sekarang." Dhiey melepas pelukkannya.
"Kau benar." Ia segera menulis sembari berjalan. Candice berjalan menemani di sampingnya. Tanpa terasa mereka sudah berada di depan ruang kelas.
"Terima kasih ya, Can. Lain kali kau harus ajari aku menulis puisi." Dhiey mengembalikkan buku Candice.
"Iya.. nanti aku ajari. Lebih baik sekarang kita masuk kelas sebelum Pak Barry datang." Dhiey dan Candice memasuki ruangan kelas.
"Sepertinya ada pasangan baru," ucap seorang gadis berambut keriting yang tengah berkumpul bersama para gadis.
"Bukan.. Bukan begitu Gloria," ucap Candice gugup. Candice segera menghampiri Gloria. Sementara Dhiey menuju kursinya. Tak lama, munculah Pak Barry. Kumisnya yang lebat selalu membuat geli siapapun yang melihatnya. Perawakannya yang gemuk ditambah kumisnya yang lebat membuat ia terlihat seperti santa claus. Namun ada yang unik dari Pak Barry.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Pak Barry dengan suara khas nya yang seperti anak kecil.
"Selamat pagi, pak," jawab para murid sembari menahan tawa.
"Kalian tidak lupa dengan tugas yang bapak berikan bukan? sekarang kumpulkan tugas kalian di depan," titah Pak Barry. Para murid mengumpulkan tugas mereka di meja guru.
"Bapak akan memeriksa tugas kalian. Semantara itu kalian baca buku ini lalu pilih salah satu karya lalu deskripsikan karya tersebut," ucap Pak Barry sembari membagikan buku puisi-puisi karya Kahlil Gibran. Dhiey membolak balik halaman mencari puisi yang mudah untuk ia jabarkan nanti. Namun seperti diketahui puisi yang Gibran ciptakan selalu mengandung unsur-unsur yang berkelumit dengan kata-kata dan bahasa yang berat. Candice hanya tersenyum memperhatikan Dhiey yang nampak kebingungan. Sementara itu Pak Barry sibuk memeriksa satu per satu tugas para murid sembari sesekali melirik ke arah para murid.
"Waktu kalian 10 menit lagi. Setelah itu bapak akan memanggil kalian satu per satu untuk menjabarkan puisi yang kalian pilih," ucap Pak Barry sembari melihat dari balik buku dengan tatapan tajam. Ucapan Pak Barry tadi membuat Dhiey semakin panik. Ia membolak-balikkan halaman buku secara kasar seolah kesetanan. Keringat dingin membasahi dahi Dhiey. Akal sehatnya seolah sudah tak bekerja lagi. Bunyi dari setiap detik jam dinding hanya membuat ia semakin terhimpit. Seolah ada dinding yang menghimpit nya dari dua sisi berlawanan. Ingin rasa nya ia berteriak sekerasnya untuk meluapkan kemelut yang ia rasakan. Tapi bagaimana mungkin yang ada nanti teman-teman sekelas nya menyangka ia tak waras. Memejamkan mata dan menenangkan pikiran solusi nya. Beberapa kali Dhiey menghirup lalu menghembuskan napasnya guna menenangkan pikirannya. Mengisi ruang di paru-paru nya dengan udara segar. Lalu ia membuka matanya perlahan. Entah apa yang terjadi judul puisi "Musim Dingin" seolah bercahaya di mata Dhiey. Dan entah mengapa pula seolah ada yang berbisik dan meyakinkan Dhiey untuk memilih puisi itu. Mata nya bergerak lincah membaca setiap kata dari puisi tersebut. Otaknya tak kalah bekerja cepat memahami apa yang dimaksud kan Gibran dalam puisi itu.
"Dhiey!" Suara khas Pak Barry seketika membuyarkan konsentrasi nya.
"I-iya, pak," jawab Dhiey gugup. Pak Barry memicingkan matanya pada Dhiey. Fokusnya hanya pada Dhiey. Seolah Dhiey adalah binatang ternak yang telah diincar oleh sang predator.
"Bapak tidak yakin bahwa ini karyamu. Bukan begitu, Candice?," tanya Pak Barry sembari mengalihkan pandangannya kepada Candice. Pak Barry tahu bahwa puisi yang ditulis Dhiey bukanlah hasil orisinil dari buah pemikirannya melainkan ia mencontek hasil karya sang ahli di kelas, Candice.
"Bapak tanya sekali lagi. Puisi ini karyamu kan, Candice?." Tatapan tajam Pak Barry membuat Candice sangat gugup.
"Benar, Pak," jawab Candice pelan. Para murid menyoraki Dhiey membuatnya malu setengah mati. Pak Barry hanya menggelengkan kepalanya lalu merobek kertas tugas Dhiey.
"Saya tak butuh tugas anda, Dhiey. Sebagai hukuman.. Kau yang pertama menjabarkan puisi. Dan saya ingin kamu menulis puisi orisinil karyamu. Kumpulkan di meja saya hari ini juga," ucap Pak Barry marah sekaligus kecewa.
"Baik, pak." Dhiey melangkahkan kakinya ke depan kelas dengan perasaan gugup dan malu. Candice yang melihat itu merasa amat sangat bersalah. Kenapa ia tidak berbohong saja tadi agar ia tidak membuat Dhiey dipermalukan.
"Silahkan dimulai, Dhiey." Dhiey menarik napas panjang.
"Aku memilih puisi berjudul musim dingin untuk dijabarkan." Para murid seolah enggan mendengarkan penjabaran Dhiey.
"Puisi ini bercerita mengenai sepasang kekasih yang menghadapi dinginnya musim bersama. Berharap selalu bersama tiada yang memisah mereka lalu memadu kasih di dinginnya malam musim dingin hingga tanpa mereka sadari fajar pun tiba menyudahi malam." Pak Barry bertepuk tangan.
"Dalam menjabarkan puisi kau cukup hebat, Dhiey." Pak Barry mengulurkan tangan. Dhiey menatap heran.
"Maafkan sikap bapak tadi. Tidak sepantasnya seorang guru melakukan hal semacam itu." Dhiey menjabat tangan Pak Barry. Namun tetap saja para murid merasa kesal dengan apa yang dilakukan Dhiey. Candice yang melihat Pak Barry berjabat tangan dengan Dhiey merasa berkurang sedikit rasa bersalahnya.
"Silahkan kembali ke tempat duduk mu. Candice.. giliranmu." Candice bangkit dari kursinya berjalan mantap ke depan kelas. Saat ia melihat kembali puisi yang akan ia jabarkan ia merasa ada yang janggal karena ternyata puisi yang ia pilih berhubungan langsung dengan puisi yang tadi Dhiey pilih. Seketika Candice diam membatu. Pak Barry bingung melihat Candice tidak seperti biasanya.
"Kau kenapa? Apa kau sakit?,' tanya Pak Barry nampak cemas. Candice menggeleng.
"Aku.. Aku tidak apa-apa. Baiklah aku mulai. Puisi yang akan aku jabarkan berjudul musim bunga. Puisi ini menceritakan mengenai sepasang kekasih yang merasa amat sangat senang karena bisa kembali merasakan musim dimana bunga-bunga bermekaran dan burung-burung bernyanyi. Mereka merasa senang pula karena dapat menikmati kehangatan karena salju telah mencair, udara nan segar bukan angin yang menusuk. Begitu indahnya alam ini mereka rasakan." Pak Barry terlihat berpikir.
"Hm.. sepertinya puisi mu adalah kisah lanjutan dari puisi yang Dhiey pilih ya? hati kalian seperti terkoneksi satu sama lain," ucap Pak Barry jahil. Dhiey mengalihkan pandangannya sementara Candice tertunduk malu.
"Sudah ku katakan kan ada sepasang kekasih baru. Mereka saling melengkapi," celetuk Gloria. Pak Barry hanya tersenyum.
"Biarkan mereka yang menentukkan. Silahkan kembali ke tempat dudukmu." Candice mengangguk lalu segera kembali ke meja nya.
"Bukankah mengagumkan kekuatan kata-kata itu. Bisa terbayangkan begitu indahnya dunia ini hanya dari kata-kata. Dan lewat kata-kata pula kita bisa mengubah dunia. Bapak menyuruh kalian semua untuk menjabarkan puisi dengan maksud mengajak kalian semua merasakan betapa maha dahsyat nya kekuatan kata-kata itu dan menguji kemampuan berimajinasi dan analisa kalian. Dan hasilnya kelas ini luar biasa hebatnya. Beri tepuk tangan untuk kalian semua." Pak Barry memberi tepuk tangan. Para murid mengikuti.

Devil's Script [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang