02

7 1 5
                                    

  Keesokan harinya..
Dhiey masih terbaring lemah di rumah sakit. Ia menatap keluar jendela. Rintik-rintik air hujan mulai berjatuhan membasahi bumi. Begitu gelap begitu kelam. Terlihat beberapa kali kilat menyambar disusul suara petir yang menggelegar. Tak lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya.
"Sore, Dhiey. Maaf aku baru mengunjungi." Suara Candice yang lembut menghentikkan lamunan Dhiey.
"Hey.. kau menerjang hujan? kenapa tidak pakai payung?," tanya Dhiey sembari memperhatikan Candice yang basah kuyup. Candice hanya tersenyum namun nampak jelas bahwa ia kedinginan.
"Sebaiknya aku ke kamar mandi dulu dan mengganti pakaianku," ucap Candice sembari bergegas. Dhiey hanya menggelengkan kepalanya.
"Hey, Dhiey. Sudah merasa lebih baik?," tanya Axel yang muncul tiba-tiba.
"Ku rasa begitu. Sudah tak terasa begitu sakit." Dhiey mencoba tersenyum.
"Bagus.. ingat Dhiey hari pertandinganku. Kau harus janji kau akan datang dan menonton kemenanganku," ucap Axel penuh percaya diri.
"Oh iya aku juga mau mengingatkan mu bahwa 3 hari lagi kau ada kompetisi bermain biola di balai kota bukan? mewakili sekolah kita?." Dhiey berpikir sejenak.
"Sial! kau benar, Axel. Aku belum latihan. Mati aku." Ucapan Axel hanya membuat Dhiey depresi.
"Lupakan saja," ucap Candice sembari mengeringkan rambutnya yang basah.
"Apa??! tidak..tidak.. bermain di balai kota dan ditonton banyak orang itu impianku. Lagipula aku mewakili sekolah. Kepala sekolah akan kecewa padaku." Candice mendorong Axel keluar.
"Hey! hey! apa yang kau lakukan?" Candice terlihat marah.
"Kerja bagus, Axel. Kau hanya akan memperlambat proses penyembuhan Dhiey karena ucapan-ucapan mu itu. Jadi lebih baik kau pergi," ucap Candice berkacak pinggang.
"Baiklah jika itu mau mu. Tandai ini dalam buku mu, nona. Jangan berharap kau bisa mendapatkan dia. Dia sahabat terbaikku dan aku tidak akan rela jika sahabat terbaikku memiliki kekasih overprotective sepertimu," ucap Axel sangat kesal. Candice mendengus kesal.
"Apa kau pikir aku rela membiarkan Dhiey bersahabat denganmu? orang yang tidak perduli sama sekali dengan sahabatnya sendiri?." Axel dan Candice sama-sama diliputi rasa emosi yang besar.
"Bisakkah kalian tidak bertengkar di hadapanku?," tanya Dhiey gusar. Axel dan Candice menatap Dhiey.
"Dengar.. Axel kau tidak bisa memutuskan aku harus berpasangan dengan siapa. Dan kau Candice.. kau pun tidak bisa menentukkan aku boleh dan tidak boleh bersahabat dengan siapa. Kalian mengerti?." Dhiey berusaha menengahi. Axel dan Candice menghembuskan napas berat bersamaan.
"Baiklah, bro. Maafkan aku. Maafkan aku juga, Candice." Axel menjulurkan tangannya. Candice hanya menatapnya. Ego nya yang kuat membuat ia enggan memaafkan Axel.
"Candice.." Dhiey menatap seolah memaksa.
"Baiklah.. baiklah." Candice menjabat tangan Axel. Dhiey tersenyum.
"Kalau begitu aku pergi dulu. Cepat sembuh, bro," ucap Axel sembari mengedipkan sebelah matanya. Candice menutup pintu selepas Axel pergi.
"Apa kau berpikir bahwa aku overprotective?," tanya Candice penasaran.
"Tidak.. tidak juga. Kau hanya ingin aku cepat sembuh kan? dengan menjauhkan orang-orang yang membuatku pusing. Jujur kau sudah menyelamatkan ku dari celotehan Axel. Tapi Axel ada benarnya Candice, bagaimana pun aku harus bisa pulih sebelum kompetisi itu dilaksanakan." Candice senang melihat semangat Dhiey yang berapi-api.
"Aku tidak ingin mematahkan semangatmu tapi melihat keadaanmu seperti ini.. ku rasa tak mungkin." Candice mengecup lembut bibir Dhiey membuat Dhiey terlihat malu.
"Tak apa tak perlu meminta maaf. Kompetisi itu berlangsung 3 hari lagi. Sementara aku harus masih dirawat di sini dalam waktu yang cukup lama," ucap Dhiey kehilangan semangat. Candice menatap Dhiey sendu. Tiba-tiba Dhiey tersenyum.
"Ok, lebih baik kita lupakan saja tentang hal itu. Hmm.. perutku lapar. Apa kau membawakan sesuatu untukku?," tanya Dhiey sembari memegang perutnya yang sedari tadi keroncongan.
"Tentu saja." Candice mengeluarkan sekantung plastik berisi makanan dari dalam tasnya.
"Roti atau bubur instant?" tanya Candice sembari mengangkat keduanya. Dhiey mengerenyitkan dahinya.
"Yuck.. bubur instant yang benar saja. Tadi pagi perawat sudah memberikan bubur untuk sarapan. Rasanya tidak enak. Apalagi bubur instant. Kau mencoba membunuhku ya? aku pilih roti saja." Candice tersenyum sembari menyodorkan sebungkus roti sobek.
"Baiklah, baiklah tuan pemilih. Makanlah roti itu lalu kembali istirahat." Dhiey membuka bungkus roti itu kasar dan mulai memasukan ke dalam mulutnya.
"Mmm.. manis, seperti dirimu," ucap Dhiey menggoda. Candice mencubit lengan Dhiey.
"Kau ini.. dalam keadaan seperti ini masih saja bisa menggoda ku." Dhiey hanya tersenyum jahil. Sembari terus mengunyah Dhiey kembali teringatkan kejadian penembakan malam itu.
"Benar-benar suatu keajaiban Dhiey melihat kau lagi," ucap Candice tiba-tiba membuat hening suasana. Dhiey tersenyum lembut.
"Ya.. aku pun tak menyangka bahwa aku akan selamat dari kejadian malam itu. Aku berpikir bahwa malam itu adalah malam terakhirku. Yang aku takutkan.. aku takkan ada lagi di sisimu, menghapus air matamu saat kau bersedih, menjadi sandaranmu saat kau lelah." Dhiey menaruh roti yang sedang ia pegang di atas meja lalu menggenggam tangan Candice.
"Tapi.. semua itu hanyalah ketakutanku saja. Aku di sini akan selalu berada di sampingmu, hingga kau sendiri yang akan mengusirku untuk pergi." Candice memegang pipi Dhiey.
"Aku tahu itu. Jadilah selalu malaikat penjagaku." Candice dan Dhiey saling bertatapan.
"Aku janji.."

Devil's Script [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang