Bicaralah! Aku ingin mendengar suaramu

4.9K 69 7
                                    

"Apa salahnya mengalah? Lagian langit nggak akan terbelah juga kalau kamu mengalah."

"Apaan sih?" seru Levi, kesal. "Seenaknya aja ngomong. Jangan bertingkah seakan kamu ngerti segalanya." Tanpa berkata apapun lagi, ia berbalik pergi meninggalkan kedua sahabatnya.

"Kenapa?" tanya Akashi, setelah mendapat tatapan tajam dari Nico. "Ck!" desis siswa berkaca mata di hadapannya itu . "Mengalah enggak semudah itu buat orang yang punya harga diri tinggi seperti Levi."

Saat itu, matahari telah membenamkan dirinya. Langit penuh dengan pancaran sinar jingga. Hampir semua siswa telah pulang. Sekolah menjadi begitu sepi. Mereka berdua berniat pulang ketika ada seseorang yang menghampirinya.

"Levi," kata gadis itu ragu-ragu. "Baru saja dia pergi." Ujar Akashi, seolah sudah tahu apa yang dipikirkannya. "Mikasa, bagaimana jika kami mengantarmu pulang?" ajak Nico. "Makasih, aku bisa pulang sendiri." Ucap Mikasa seraya tersenyum. "Sampai jumpa."

"Biasanya anak itu senyumnya bersemangat sekali," pikir Akashi. "Mungkin benar, orang pintar sepertimu itu kadang bisa jadi terlalu bodoh dan tidak peka." sindir Nico. "Jelas-jelas ada masalah dengan Levi, mana mungkin masih bisa semangat."

Sudah hampir satu minggu, perang dingin antara Levi dan Mikasa masih belum berhenti. Cowok dengan harga diri yang terlalu tinggi dengan cewek yang keras kepala. Tidak ada yang mau berbicara duluan. Kesalahpahaman kecil telah menciptakan jarak diantara mereka. Semakin bertambah jauh setiap harinya. Padahal besok, genap satu tahun mereka pacaran.

Berulang kali, Levi melihat layar handphonenya lalu menyimpannya kembali di atas meja. Gelisah, itulah yang dirasakannya saat ini. "Mana sih dia? Biasanya malam begini dia nanya-nanya yang gak jelas." Gumam Levi. "Udah seminggu masa dia masih gak mau ngomong? Gak mungkin kan aku duluan yang chat."

Sementara itu di sisi lain, gadis yang dipikirkannya juga merasakan hal sama. Mikasa tidur di atas tempat tidurnya dengan mata masih terbuka. Ia masih kepikiran dengan masalahnya sekarang. "Aku bingung." Frustasi, ia mengacak-acak rambut panjangnya. "ENGGAK!" teriaknya kemudian. "Aku nggak salah, biar dia aja yang ngomong duluan. Meski aku nggak ngomong sama dia, dia harusnya membujukku kenapa dia malah menghindariku?" gerutu Mikasa.

Ketika mereka masih saling diam, waktu tidak pernah berhenti berputar untuk menunggu mereka berbaikan. Keesokan harinya, Mikasa pergi ke sekolah seperti biasa. Saat memasuki kelas, matanya langsung tertuju ke arah Levi. Anak itu sedang tertawa riang bersama temannya. Tawa itu terasa sudah lama tidak didengar oleh Mikasa. Senyum itu, suara itu. Da ri sorotan matanya saja, siapapun yang melihat akan tahu jika Mikasa benar-benar merindukannya.

"Pagi Mikasa!" sapa Akashi, sadar akan kehadirannya. Levi dan Nico langsung berbalik dan menatap ke arahnya. Tidak seperti Akashi dan Nico, Levi langsung memalingkan wajahnya. Ia hanya bergeming di tempat duduknya, "Pagi." Balas Mikasa.

Hari itu suasana diantara mereka menjadi semakin dingin. Bahkan kini Akashi dan Nico sudah tidak nyaman dengan situasi itu. "Lev, udahlah minta maaf aja sana."ujar Nico. Mereka kini tengah memakan bakso di kantin sekolah. "Ini udah berlebihan. Harga diri malah membuatmu menjadi pengecut."

"Diamlah, dasar jomblo! Mood makanku nanti hilang." tanpa menatap sahabatnya, Levi terus melanjutkan kegiatan makannya. Akashi yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Nico sangat sensitif jika membahas soal dirinya yang masih belum punya pasangan. "Serah! Dinasehatin malah ngejek." Seru Nico. "Kalau tiba-tiba ada cowok yang deketin Mikasa saat dia sedih, jangan harap kamu masih bisa mengejekku. Kamu bisa saja tergantikan."

Meski terlihat tidak mendengarkan, ucapan Nico tidak keluar begitu saja dari pikiran Levi. Sebenarnya ia juga gelisah, semakin gelisah saat mendengar ucapan Nico barusan. Bel berbunyi, memecah keributsn diantara mereka. Di kelas, semua siswa telah kembali duduk ditempatnya. Suasana kembali hening. Dulu, ya dulu sebelum ini terjadi. Saat guru menerangkan, Mikasa dan Levi sering saling menatap lalu tersenyum. Saat ini bergerak sedikitpun tidak. Mata mereka memang menatap ke depan tapi entah apa yang mereka pikirkan.

Masalah ini terus berlanjut sampai hari kembali sore dan waktunya semua siswa di sekolah tersebut pulang. Levi selalu saja pulang duluan. Mikasa sudah mencapai batas kesabarannya. Meski sudah diajak pulang bersama oleh Akashi dan Nico, ia tetap minta ditinggalkan sendiri di kelas. Mikasa menangis. Apa hubungannya akan tetap begini atau apa akan segera berakhir. Apa Levi sudah tidak mencintainya lagi. Semua pertanyaan itu semakin membuat tangisnya meledak.

Mikasa tidak mau pulang. Dia masih berharap. Barangkali, Levi datang kembali ke kelas untuk memeriksa keadaannya, untuk hanya sekadar mengucapkan selamat atas hari jadi mereka. Bahkan Mikasa tidak masalah jika Levi tidak meminta maaf. Ia hanya ingin dia datang.

Mikasa terus menangis, langit sudah mulai gelap. Tapi dia masih tetap menangis di dalam kelasnya sendirian. Ia tidak menyadari seseorang dengan napas tersenggal-senggal datang menghampirinya. Mikasa mendongak, "Siap-" terhenti. Ia begitu terkejut. Levi disampingnya sekarang. "Bodoh! Apa tidak takut malam begini menangis sendirian disini?"

Levi menyerahkan setangkai mawar merah kepada Mikasa. "Emm daunnya," ucap gadis itu setelah berhenti menangis. "Aku sangat khawatir ketika Nico dan Akashi bilang kamu menangis sendirian disini. Sungguh, bunga mawar ini masih indah saat sebelum aku lari tergesa-gesa kesini." Ujar Levi, memandang ke arah lain. Walau tidak seromantis yang ia mimpikan tapi ini adalah hal yang membuatnya begitu senang.

Kumpulan Cerpen MenarikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang