lembar keempat

310 20 0
                                    

***

Gaara berpapasan dengan Naruto dan Sakura di lorong perpustakaan. Tujuan awalnya ia ingin membaca buku selagi menunggu Hinata, tapi lewat pendengarannya ia tahu bahwa mereka sedang membicarakan gadis itu. Sehingga hal itu mengurungkan niat Gaara, dan ia pun memutuskan untuk berdiri sambil menyenderkan punggungnya pada tembok, yang secara bersamaan dilakukan juga oleh Naruto sementara Sakura berada di hadapan pria itu.

Melihat itu ia dibuat jengkel sendiri, bagaimana bisa seorang pria yang sudah mempunyai pacar masih bisa berduaan dengan wanita lain? Demi Tuhan! Gaara tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, mencuri dengar pembicaraan orang lain. Tapi ini menyangkut Hinata, ia mesti tahu.

Hinata mau kesini, untuk menemuiku atau pria itu? Tanya Gaara dalam hatinya.

"Kenapa harus menunggu disini?" Tanya Si Gadis Ping.

"Disini sepi, tak banyak orang yang lewat."

"Apa hubungannya dengan menunggu kekasihmu?" Tanyanya lagi.

"Kamu bawel banget sih."

Melihat pergerakan sang pria, Gaara tahu bahwa hal ini pasti akan menyakiti Hinata.
Bagaimana pun Gaara seorang pria, ia mengerti, di tempat sepi, hanya berdua dengan wanita cantik. Kesempatan itu pasti muncul di saat seperti ini.

Gaara yang khawatir Hinata akan segera sampai pun langsung menghubungi nomor Hinata, tapi gadis tak juga menjawabnya, membuat Gaara semakin cemas.

***

Hinata tetap memasang wajah ceria, ia semakin mengembangkan senyumnya ketika ada beberapa orang yang menyapa. Gadis itu tak menyadari bahwa ponselnya mengeluarkan suara berkali-kali. Baru saat akan tikungan terakhir menuju koridor perpustakaan ia merasakan getaran yang diciptakan benda itu. Gadis yang selalu menggeraikan rambutnya itu segera menggambil benda kotak di dalam. Sambil terus berjalan, ia sedikit mengernyit mendapati nama Gaara yang muncul, tak pikir panjang ia langsung mengangkatnya.

"Ia Gaa ..." ucapnya terputus kala matanya melihat objek yang membuat hati dan jantungnya terasa seperti dipukul besi dengan sekali hantaman yang keras.

Di sana, di belakang Gaara.
Ini jauh lebih keterlaluan dari berpegangan tangan, ini lebih sanggup membuat runtuh pertahanan Hinata selama ini.

Naruto berciuman, dengan Sakura. Dihadapannya.

Ya Tuhan !

Hinata merasa sesak dalam dadanya, matanya tak salah melihat kan? Ia selalu tahu dengan benar postur tubuh Naruto dari jauh sekalipun. Apalagi warna rambut yang khas itu. Hinata yakin itu Naruto.

Penglihatannya sedikit mengabur karena terhalang air mata, yang bisa ia lihat -meskipun samar- seseorang berjalan mendekat padanya. Lalu detik selanjutnya, Hinata tahu bahwa dia sedang berada dipelukan seseorang.

"Pejamkan matamu, Hinata."

Hinata pun memejamkan matanya, seiring dengan kesadarannya yang mulai menipis.

***

Hinata masih ingin memejamkan mata, berbaring di bawah selimut yang hangat. Yang tadi itu mimpi kan?
Hinata belum berangkat ke kampus dan ini belum pukul 11 kan?
Tapi ketika gadis itu membuka mata, ia menemukan jam digital di sisi ranjang yang menunjukan pukul 23.45, itu artinya yang tadi bukan mimpi. Hinata sudah pergi ke kampus, dan melihat dengan jelas kejadian-

Oh shit!

Hati Hinata merenyud sakit mengingat itu, air matanya pun tak lagi malu untuk keluar. Dan isakan kembali menyusul. Dengan masih berbaring, Hinata menenggelamkan wajahnya pada bantal dan menangis sejadi-jadinya disana.

Betapa Hinata menyesali dirinya yang gembira mendapat pesan dari Naruto, Hinata tak ingin mengingat bahwa dirinya begitu mudah luluh hanya karena ucapan sederhana pria itu. Ia pun tak habis pikir, ini bukan untuk pertama kalinya Hinata dipermainkan, tapi kenapa ia mudah sekali dibodohi?

Hinata dapat merasakan ada yang menyentuh kepalanya. Ia pun berusaha meredam isakannya, apa itu kaa-san?

Kaa-sannya yang cantik dan baik hati datang dari surga untuknya, kan?

"Hinata."

Bayangan kaa-sannya hilang setelah mendengar suara baritone seorang pria.

Hinata mendongak, lalu mengitari seisi kamar.

Bukan kamarku.

Hinata membulatkan mata kaget mendapati Gaara yang duduk di sampingnya. Gadis yang masih mengenakan pakaian kemarin itu pun langsung duduk, dan menutupi sebagian wajahnya dengan selimut.

"A-aku dimana?"

"Di kamar."

"Ma-maksudku, kenapa aku ada disini?"

"Aku yang membawamu."

Hinata terdiam, ia kembali mengolah ingatannya.  Yang terakhir ia ingat adalah ketika ia merasa bahwa dirinya ada yang memeluk, dan setelah itu Hinata tak mengingat apapun.

"Kau pingsan tadi."

Oh, pantas saja. Hinata mengangguk pelan.

"Tapi kenapa tidak kerumahku saja?" Tanya Hinata.

"Dengan keadaan kau pingsan? Tidak. Aku masih ingin hidup dari amukan ayahmu. Lagi pula, Neji tahu kau disini."

Hinata kembali mengangguk paham.

"Kau mengenal kakakku?"

"Hn."

"Seperti?"

"Sahabat."

Gadis yang sudah tak lagi menangis itu hanya ber-oh ria, kalau begitu dia aman.

Gaara pun beranjak dari duduknya, berdiri dengan masih menghadap Hinata. Tangannya terulur mengelus puncak kepala putri Hyuuga.

"Tidurlah. Kecuali kau lapar, ingin kubuatkan sesuatu?"

Menyinggung kata lapar, perut Hinata mendadak terasa mual. Sebelum berangkat ke kampus tadi pagi, Hinata memang belum memasukkan makanan apapun ke mulutnya.

Setelah menunduk melihat perutnya, Hinata kembali mendongak, "boleh"
.
.
.
.
.
.
.
^TBC^

AnotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang