PROLOG

213 41 52
                                    

"Jika cinta itu memang buta, ia tetap takkan pernah tersesat untuk menemukan jalan pulangnya. Seliku apapun itu. Maka, biarkanlah ia yang menuntunmu kembali padaku"

Kota Hujan, 24 Maret 2002

"Apa yang kurang dari aku, Na! Jawab!" Lelaki itu mencengkeram erat pergelangan tangan gadis di depannya. Tak peduli jika cengkraman tangannya terlalu erat dan dapat melukai gadis itu. Pikirannya berkecamuk hebat saat ini.

"Bukan kamu, Van. Tapi kita," Adriana memalingkan wajah. Menolak bertemu pandang dengan Devan. Sungguh, ia tak kuasa.

"Memangnya ada apa dengan kita?!" Bahkan Devan sendiri tidak menyadari suaranya naik satu oktaf.

"Kita nggak bisa bersama terus, Van. Diantara kita nggak ada cinta," Suara Adriana mencicit. Tenggorokannya tercekat oleh kata-katanya sendiri. Sementara batinnya terus memberontak dan berteriak 'Kau pembohong!'

Napas Devan memburu, "Bodoh! Aku mencintaimu, Adriana! Apa semua sikap dan perhatianku belum cukup untuk menjelaskan semuanya?! Tidakkah kamu tahu itu?! Aku mencintaimu, Adriana. Lebih dari aku mencintai diriku sendiri"

Hati Adriana terasa tercabik-cabik. Itu sungguh pengakuan yang ditunggunya selama tiga tahun belakangan. Pengakuan yang ia tunggu hingga ia selalu uring-uringan tiap berkaca. Pengakuan yang selalu ia harapkan di sepanjang lamunannya. Pengakuan yang.. kini terasa begitu menyiksa.

Adriana mengumpulkan keberaniannya lantas menatap Devan sedatar yang ia bisa.

"Kalau begitu, aku yang tidak mencintaimu, Van"

Seperti ada seribu ton beban jatuh di pundak Devan. Napas Devan makin tidak karuan, "Bullshit! Kamu bohong, Na! Aku tahu selama ini kamu juga mencintaiku!"

Adriana menunduk, lantas tertawa getir, "Sayangnya aku enggak bohong, Van"

"Omong kosong! Kalau begitu, buktikan! Tatap mataku dan katakan dengan lantang kalau kamu memang tidak mencintaiku!"

Adriana mendongakkan kepala, matanya menatap lurus manik mata cokelat yang berhasil membuatnya percaya dengan 'cinta pada pandangan pertama'. Kini, pasokan udara di paru-parunya terasa semakin menipis saja. Membuatnya sesak napas.

Adriana menguatkan hatinya, "Aku. Tidak. Mencintaimu. Arthanio. Devan"

Detik itu juga, Devan merasa dunianya luluh lantak. Dan ia terjebak bersama puing-puing reruntuhannya.

Adriana menyentak kasar cengkraman tangan Devan yang mengendur. Seperti ada ribuan tombak bersarang di hatinya demi melihat Devan yang begitu terluka atas pernyataannya. Adriana harus segera pergi sebelum air matanya jatuh di sini.

"Sekarang, biarkan aku pergi"

Adriana berbalik menjauh. Membiarkan Devan tergugu dengan bayangnya disana.

Adriana baru berjalan beberapa langkah ketika ia mendengar suara lirih Devan bergumam.

"Apa kau takkan pernah kembali lagi padaku, Na?"

Ketika itu juga, bendungan air mata Adriana jebol. Dan ia sendiri tidak bisa menghentikannya.

Adriana mempercepat langkahnya. Ia tidak boleh menangis disini atau Devan akan tahu dan semua rencananya akan gagal.

Adriana sungguh tidak sadar. Apa yang dilakukannya ini akan merubah keseluruhan hidup mereka.

A/N :
Ini cerita perdana aku. Maafin kalok masih ancur. Prolognya mainstream bgt ya? --" Tapi aku janji cerita ini gak bakalan mainstream. Tinggal tunggu tanggal mainnya aja.
5 votes please?
@RZ

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang